Minggu, 16 September 2012

JENIS JENIS TERAS/LEAD(Kepala Berita)

1. Teras Narasi Model teras ini bertujuan menarik orang seolah-olah masuk ke dalam cerita. Caranya dengan bertutur bak seorang narator yang menciptakan satu suasana dan melibatkan pembaca di tengah-tengah kejadian yang berlangsung. Teras ini ampuh untuk menggugah emosi pembaca seperti dalam film yang baik. Teras semacam ini sangat efektif untuk cerita petualangan. Misalkan seorang wartawan yang melaporkan suasana di sudut sebuah rumah di Bosnia Herzegovina yang lagi dilanda perang saudara. Kami makan anggur kematian, dan anggur itu lezat. Berair, biru kehitaman, manis dan asam. Mereka menggantungkan setandan anggur masak di beranda belakang rumah milik seorang muslim yang istrinya belum lama tewas oleh bom orang Serbia. Inilah senja di Bosnia, langit sama biru tuanya dengan anggur-anggur itu. (TEMPO, 27 Maret 1993, "Potret Berdarah dari Dalam"). 2. Teras Pertanyaan Salah satu sifat yang dimiliki manusia adalah keinginan untuk mengetahui segala sesuatu dengan bertanya. Inilah yang membuat teras pertanyaan ini menarik. Teras pertanyaan biasanya bernada skeptis, mempertanyakan segala sesuatu, meragukan apa yang telah diterima, dan mewaspadai segala kepastian agar tidak mudah tertipu. Teras ini merangsang keingintahuan pembaca dengan menyodorkan pertanyaan kreatif, menggelitik, merangsang rasa ingin tahu pembaca. Benarkah krisis betul-betul mendera segala lapisan masyarakat? Indonesia disebut mengalami krisis namun mobil-mobil keluaran terbaru selalu laris manis. 3. Teras Deskriptif Teras deskriptif biasanya menciptakan gambaran dalam pikiran pembaca tentang suatu tokoh atau tempat kejadian. Model ini menggambarkan sebuah kejadian sedemikian rupa dan detail, sehingga pembaca merasa berada tidak jauh dari lokasi kejadian. Teras narasi meletakkan pembaca di tengah adegan atau kejadian dalam cerita, sedangkan teras deskriptif menempatkan pembaca beberapa meter di luarnya, dalam posisi menonton, mendengar, dan mencium baunya. Wajah Syaiful Rozi bin Kahar sama sekali tak mengesankan bahwa ia seorang bajak laut. Ia berpembawaan halus, sopan, dan ramah (TEMPO, 28 Agustus 1993, "Perompak yang Halus dan Ramah"). 4. Teras Perbandingan Model ini berbentuk perbandingan. Penulis membandingkan sesuatu dengan sesuatu yang lain. Obyek perbandingan penulis bisa manusia, tempat, suasana hati, karakteristik dan seterusnya. Sepuluh tahun lalu kota yang dikelilingi bukit-bukit dan seakan dipangku oleh sebuah gunung itu terasa sejuk. Udaranya segar sekali. Pohon-pohon besar, dan hutan lindung yang mengelilinginya membuat hujan sangat sering datang menyambangi. Kini, tatkala pabrik-pabrik merambah, tatkala alat-alat transportasi penduduk berseliweran memadati jalan-jalan kota yang dulu cukup lengang, cuaca di kota itu pun berubah total: panas menyengat, membuat gerah warganya. 5. Teras Ringkasan (5W + 1H) Teras ini serupa dengan berita yang biasanya memuat unsur 5W + 1H (who, what, when,WHERE, why, how). Model teras ini termasuk model teras yang paling sering dipakai penulis artikel koran. Tahapan ketiga Speedy Tour d"Indonesia 2010 berlangsung kacau. Itu terjadi tatkala, rombongan besar pembalap dan sejumlah ofisial, tersesat di Jalan Utara Adiwerna, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah. Akibatnya, balapan pada Selasa (26/10) itu pun terpaksa harus di-restart (start ulang, Red). (Kompas, 27 Oktober 2010, "Balapan Kacau, Pembalap Salah Jalur") 6. Teras Kutipan Kutipan yang bermakna dan pendek bisa membuat teras menarik, terutama kutipan orang yang terkenal atau kata-kata bijak. Kutipan yang dipakai biasanya berupa pernyataan yang tidak lazim, memotivasi, kontroversial, atau mengundang tanya "Beri aku 10 pemuda, karena dengan mereka aku akan mengguncangkan dunia." Demikian penggalan pidato yang pernah dilontarkan oleh Soekarno untuk menggugah semangat pemuda-pemudi negeri ini sekaligus menunjukkan bagaimana pentingnya peran pemuda dalam mengubah peradaban dunia. 7. Teras Menuding Dalam model ini, penulis berkomunikasi langsung dengan pembaca. Ciri-ciri teras ini adalah ditemukannya kata "Anda" yang disisipkan pada paragraf pertama atau di tempat lain. Keuntungannya jelas. Pembaca menjadi bagian cerita. Penyusunan kata-katanya melibatkan Anda dalam cerita itu. Bila Anda punya nama "kodian", harap hati-hati. Salah-salah Anda kena cekal, tak boleh ke luar negeri (TEMPO, 30 Januari 1993, "Gara-gara Nama Sama".) 8. Teras Penggoda Teras penggoda ini adalah cara untuk "mengelabui" pembaca dengan bergurau. Tujuan utamanya menggaet perhatian pembaca dan menuntunnya supaya membaca seluruh cerita. Kalimat atau kata-kata dalam teras ini biasanya berupa teka-teki agar pembaca penasaran untuk terus membaca. Angka yang ditunggu-tunggu itu keluar juga: sekitar 50. (TEMPO, 4 Januari 1992, "Angka Misterius Santa Cruz".) 9. Teras Stakato Teras yang baik bisa menciptakan "mood". Suasana dibuat seakan licin, halus sehingga enak untuk memasuki alinea berikut. Salah satu cara yang bisa digunakan adalah dengan menempatkan ungkapan ekspresi atau frasa pembuka yang terkesan menggantung, terputus atau belum selesai. Minggu. Saat untuk membuat segalanya berhenti. 10. Teras Nyentrik Merasa tidak puas dengan teras yang "begitu-begitu" saja, ada penulis feature yang mencoba membuat teras yang, bukan saja tidak lazim, tetapi sungguh aneh. Tujuannya, apalagi kalau bukan memikat pembaca? Hijau sayuran Putihlah susu. Naik harga makanan Ke langit biru Reporter yang imajinatif -- meskipun tidak puitis -- bisa mencoba teras seperti ini pada saat menulis cerita tentang kenaikan harga. Teras ini memikat dan informatif. Gayanya yang khas dan tak kenal kompromi itu bisa menarik pembaca, hingga ceritanya bisa laku. Teras ini paling ekstrem dalam bertingkah. Akan tetapi, nada teras ini perlu dijaga sepanjang keseluruhan cerita. Model teras ini ada bahayanya. Wartawan hidup dalam dunia kata-kata. Teras nyentrik membuka peluang wartawan untuk mengobral permainan kata hingga bombastis. Hanya kebijaksanaan yang tegas yang bisa mencegah banjirnya permainan kata itu. Teras nyentrik bisa juga hanya melukiskan suara bunyi-bunyian. Suara hewan, mesin, motor, angin, serta benda-benda bergerak lainnya yang bisa digarap menjadi pembuka artikel. Penulis bisa menggunakan suara-suara yang sudah lazim di telinga pembaca, atau sebaliknya justru yang sama sekali asing atau aneh. "Tak dududuktak. Duk." (TEMPO, 5 Januari 1985, "Mereka Bergerak, Selebihnya Silakan Lihat.") 11. Teras Gabungan Di surat kabar sering ditemukan teras yang merupakan gabungan dari dua atau tiga teras, dengan mengambil unsur terbaik dari masing-masing teras. Teras ini dibuat untuk memperoleh efek ganda yang lebih dramatis. Teras kutipan sering digabungkan dengan teras deskriptif. "Bukan salahku bahwa aku belum mati sekarang," kata Fidel Castro dengan senyum lucu (TEMPO, 7 Mei 1994, "Castro, Revolusioner yang Belum Pensiun"). Dari sebelas model teras ini, apa yang paling cocok dengan gaya tulisan dan jenis tulisan Anda? Atau barangkali, Anda ingin bereksperimen membuat model teras sendiri. Kita memang memiliki cukup banyak pilihan teras, tetapi pilihan-pilihan ini tidak membatasi kita untuk berkreasi dan membuat model teras yang beda! Anda bisa mengerahkan kreativitas Anda untuk menciptakan jenis teras yang unik dan cocok untuk Anda.

REPORTASE


REPORTASE adalah Kegiatan jurnalistik dalam bentuk peliputan aktif, observatif, langsung, menggunakan pancaindra sang wartawan sendiri, ke suatu sumber berita yang NYATA.

1. Dalam reportase, wartawan mendatangi langsung lokasi sumber berita, bisa berupa kejadian, narasumber, atau yang terkait dengannya.
2. Dalam kegiatan reportase, wartawan mengumpulkan fakta dan data seputar peristiwa tersebut. Minimal, fakta dan data yang dikumpulkan harus memenuhi unsur-unsur berita 5W+1H. Atau sesuai dengan target dari proses reportase yang diinginkan.

....meliput kejadian kecelakaan di lapangan tentu berbeda dengan liputan meminta konfirmasi seorang pejabat..
...dalam dunia jurnalistik media cetak dikenal kloning berita (copy paste) berita.

Menurut Luwi Ishwara (Catatan-Catatan Jurnalisme Dasar) : faktor INGIN TAHU adalah kunci utama kegiatan reportase. Ada beberapa teknik yang bisa dilakukan untuk mengembangkan keingintahuan ini:

1. Tempatkan diri Anda sebagai pembaca....
Apa yang membuat berita itu penting dan menarik? Seandainya Anda terpengaruh oleh berita itu, apa yang Anda inginkan dan butuhkan untuk mengetahui peristiwanya?

2. Memakai metode garis waktu, dengan cara menelusuri urutan kejadian itu.
Berawal dari kejadian saat ini, lihatlah ke masa lalu dan ke masa mendatang. Apa yang terjadi sekarang? Bagaimana peristiwa itu mulai berkembang? Bagaimana urutannya dan apa tindakan berikutnya? Pertanyaan yang melibatkan urutan waktu ini akan memberikan jawaban tentang latar belakang dan kronologis dari berita Anda.

3. Membayangkan diri sebagai detektif yang sedang menghadapi misteri atau konflik suatu kasus pembunuhan.
Pertanyaan apa yang akan Anda ajukan untuk memecahkan masalah atau kejahatan itu? Pertanyaan-pertanyaan ini akan berpusat pada apa yang terjadi, motif, akibat, dan petunjuk untuk mengungkapkan kebenaran.
Dalam jurnalistik, khususnya media cetak, dikenal istilah running news. Yaitu, proses reportase berita yang merupakan lanjutan dari berita terdahulu. Baik dalam kurun waktu dekat, ataupun silam.

4. Buat daftar semua pertanyaan yang timbul dalam pikiran Anda, mengenai gagasan berita Anda.
Kemudian kerahkan daya pikir tentang hal-hal penting yang ingin Anda liput, dalam bentuk brainstorming and mapping technique.


Reportase Peristiwa
Reportase merupakan kegiatan observasi langsung  wartawan, untuk mengetahui peristiwa secara lebih tepercaya.

Reportase peristiwa secara garis besar terbagi dua:
1. Peristiwa yang diduga terjadi atau direncanakan terjadi.
Misalnya : perayaan, pertunjukan, rapat.
2. Peristiwa yang tidak terduga.
Misalnya: bencana alam, kerusuhan, kecelakaan.

Dari segi substansi atau jenis peristiwa, Asep Syamsul M. Romli (Jurnalisme Praktis untuk Pemula), ada dua cara reportase, yaitu beat system, dan follow up system.

Beat system
Sistem pencarian bahan berita yang mengacu pada beat (bidang liputan). Yaitu, meliput peristiwa dengan mendatangi secara teratur instansi pemerintah atau swasta, atau tempat-tempat yang dimungkinkan memunculkan peristiwa, informasi, atau hal-hal yang bisa menjadi bahan berita.

Follow up system
Yaitu meliput bahan berita dengan cara menindaklanjuti (follow up) berita yang sudah ditulis.

Romli menekankan dalam melakukan kegiatan reportase, wartawan harus memperhatikan:
1. Kode Etik Jurnalistik atau Kode Etik Wartawan Indonesia

2. Fairness Doctrine (Doktrin Kejujuran).
”....mendapatkan berita yang benar lebih penting daripada menjadi wartawan pertama yang menyiarkan/menulisnya....”

3. Cover both side atau news balance, yakni perlakuan adil dan tidak berpihak, terhadap semua pihak yang menjadi objek berita. Caranya, dengan meliput semua atau kedua belah pihak yang terhadap dalam peristiwa.

4. Cek dan ricek, yakni meneliti kebenaran sebuah fakta/data, beberapa kali sebelum menuliskannya.

5. Menghormati off the record. Narasumber yang meminta namanya dirahasiakan, keterangannya tidak untuk dimuat, hanya memberikan informasi, dijamin dalam Kode Etik Jurnalistik dan Undang-Undang Pers. Bahkan, pelanggaran terhadap off the record  bisa berujung delik pengaduan berdasarkan Undang-Undang Hukum Pidana.


Wawancara
Tujuan: menggali informasi, komentar, opini, fakta, atau data tentang suatu masalah atau peristiwa dengan mengajukan pertanyaan kepada narasumber.

Ermanto (Menjadi Wartawan Handal dan Profesional) membedakan wawancara jurnalistik dari berbagai sudut pandang:

1. Wawancara berdasarkan informasi yang diperoleh
a. Information interview
Information interview adalah wawancara yang dilaksanakan oleh wartawan untuk memperoleh keterangan, informasi, data, dan fakta suatu peristiwa.

b. Feature interview/personality interview
Feature interview/personality interview merupakan wawancara untuk menggali cerita kehidupan seseorang yang akan dijadikan berita.

c. Opini interview
Opini interview adalah jenis wawancara yang dilakukan oleh wartawan untuk mendapatkan pendapat, opini, gagasan, dan ide dari satu atau lebih sumber berita.

2. Wawancara berdasarkan sarana yang digunakan
a. Wawancara melalui telepon
Wawancara melalui telepon merupakan jenis wawancara yang sering digunakan. Jenis wawancara ini dapat menghemat waktu, dapat berhubungan dengan cepat dengan narasumber yang sulit meluangkan waktu pertemuan. Secara lebih khusus, keterbatasan waktu menggunakan telepon dapat membatasi jumlah topik pertanyaan dan akan mengajukan pertanyaan yang penting dan perlu.
Jenis reportase ini SANGAT RISKAN dan rawan menuai komplain, fitnah, dan memengaruhi kualitas sebuah berita atau wawancara di mata narasumber.

b. Wawancara tatap muka
Wawancara ini memiliki kelebihan, karena memberikan waktu lebih banyak untuk memperoleh informasi yang dikehendaki serta akan muncul informasi baru selama wawancara.

c. Wawancara melalui konferensi pers
Wawancara dalam konferensi pers sangat sering dilakukan oleh lembaga resmi, baik pemerintah maupun swasta. Wawancara melalui konferensi pers sangat terbatas.
Ini tentu menyulitkan wartawan untuk mengumpulkan informasi yang berharga. Keuntungannya, apabila wartawan diberi kesempatan bertanya, serta mengadakan perjanjian untuk melanjutkan wawancara di waktu dan tempat yang lain.

d. Wawancara tertulis
Wawancara tertulis merupakan jenis wawancara dengan mengajukan pertanyaan tertulis kepada narasumber dan narasumber akan menjawabnya secara tertulis pula.
Wawancara seperti ini dilakukan karena narasumber tidak memiliki waktu untuk wawancara tatap muka atau dengan tujuan untuk memberi waktu berpikir kepada narasumber. Wawancara ini biasanya dilakukan untuk mengungkapkan persoalan yang rumit, sehingga narasumber harus berhati-hati mengemukakan pendapatnya.


3. Wawancara berdasarkan kesiapan pelaksanaan wawancara

a. Wawancara mendesak
Disebut pula wawancara mendadak. Wawancara jenis ini dilakukan dalam keadaan yang mendesak, karena tidak direncanakan. Disinilah diperlukan kejelian wartawan. Melalui wawancara ini, wartawan memperoleh bahan berita di luar dugaan, yang mungkin belum tentu diperoleh wartawan lain.

b. Wawancara terencana
Wawancara terencana ini merupakan wawancara yang sudah direncanakan wartawan. Bentuk perencanaan bisa dilakukan oleh wartawan sendiri atau secara tim. Walaupun demikian, wawancara ini sedapat mungkin harus ada kontak terlebih dahulu dengan narasumber, sehingga wawancara yang dilakukan dapat berjalan sebaik mungkin.

KRITERIA Narasumber
1. Kredibel, orang nomer satu, terkenal atau terkemuka, pakar di bidangnya, memiliki wewenang, berprestasi atau unggul;
2. Tajam dan analitis;
3. Kaya data dan informasi mutakhir;
4. Berani bicara apa adanya;
5. Berpikir runut;
6. Berwawasan luas;
7. Bukan jago kandang;
8. Konsisten;
9. Gampang dihubungi;
10. Paham dunia jurnalistik.

Pemilihan narasumber ini tentu berkaitan dengan bidang kajian yang kuasai narasumber. Namun ada kalanya kita akan mewawancarai orang-orang yang tidak masuk kriteria tersebut, namun informasinya penting, dan terpercaya, seperti kesaksian seorang korban bencana alam. Maka kita juga harus pandai dalam mencari narasumber, dan mewancarainya.

Tahap persiapan dan tahap pelaksanaan wawancara.

1. Tahap Persiapan Wawancara
a. Pewawancara yang baik tidak berangkat dengan kepala kosong. Dia harus memahami topik pembicaraan dan permasalahan yang ada seputar topik tersebut.
b. Pewawancara harus merumuskan pertanyaan. Tentu saja, rumusan pertanyaan yang telah disusun tidak bersifat kaku, melainkan fleksibel.
c. Pewawancara menjalin hubungan dengan pihak yang hendak diwawancarai.

2. Tahap Pelaksanaan Wawancara
Kunci utama wawancara adalah menyebutkan identitas kewartawanan anda!

Lalu....
a.         Pewawancara datang tepat waktu.
b.         Pewawancara memperhatikan penampilan....sesuaikan dengan SITUASI dan KONDISI WAWANCARA. Jangan pakai jas waktu wawancara di event olahraga di kolam renang. Atau pakai jeans di dalam istana negara.
c.         Pewawancara datang dengan persiapan dan pengetahuan masalah.
d. Pewawancara sebaiknya mengemukakan alasan kedatangan (maksud dan tujuan) sebagai pengantar atau basa-basi untuk menjaga suasana psikologis interviewee.
e. Pertanyaan yang diajukan pewawancara hendaknya dimulai dengan hal-hal umum (secara garis besar), dan setiap pertanyaan mengarahkan narasumber pada inti persoalan.
f. Pertanyaan tidak bersifat interogatif atau terkesan memojokkan interviewee sebagai “terdakwa”, dan hindari sebisa mungkin perkataan yang cenderung “menggurui”.
g. Pewawancara mendengarkan jawaban dengan baik, dan boleh menyela jika interviewee menyimpang dari topik wawancara. Sebisanya selaan dilakukan ketika interviewee dalam keadaan rileks.
h. Siapkan catatan dan perekam suara. Jangan ragu untuk menuliskan dan mengajukan pertanyaan baru yang muncul saat mendengarkan pembicaraan interviewee. Sebab, dalam proses wawancara kadang muncul masalah baru yang bisa dikembangkan. Dengan kata lain, pewawancara harus siap mengembangkan masalah asalkan masih berkaitan dengan tema yang dibicarakan.

Selain itu, pelaksanaan wawancara akan lebih baik jika pewawancara mengenal baik biografi interviewee, jabatannya, perwatakannya, hobinya, dan lain-lain menyangkut diri narasumber. Adapun hal-hal lain yang harus dihindari selama wawancara antara lain jangan menjilat, sok akrab, dan menjual nama orang.


Menurut Luwi Ishwara ada prinsip praktis yang layak diperhatikan selama wawancara.

1. Terbuka dan beri perhatian
Reportase, kata A.J. Liebling, umumnya adalah menaruh perhatian pada setiap orang yang kamu jumpai. Kamu tidak harus menyukai setiap orang yang kamu wawancarai. Tetapi kamu harus bisa memberi perhatian padanya.

2. Kamu akan menuai hasil dari apa yang kamu tanam
Ada prinsip penting dalam wawancara, “pertanyaan yang bodoh menghasilkan jawaban yang bodoh”. Karena itu, berhati-hatilah mengajukan pertanyaan. Persiapkan dengan seksama pertanyaanmu.
Contoh :
Apa pendapat bapak tentang kasus A.....
Pak, katanya kemarin......
(mencerminkan tidak punya bahan)

Bandingkan dengan
Pak, jam 12.00 wib kemarin bapak terlihat sama perempuan tidak pake jilbab, bapak mesra-mesraan di tempat umum. Padahal, setahu saya, istri bapak berjilbab.....

3. Orang akan bicara lebih bebas jika mereka senang
Kamu bisa membuat wawancara menyenangkan dengan cara mendengarkan sungguh-sungguh, dengan menghargai orang sebagai teman sesama, dengan tawa tulus menyambut banyolan mereka, dengan mengajukan pertanyaan yang didasarkan pada persiapan matang sebelumnya dan dengan mendengarkan apa yang mereka katakan
.
4. Dalam wawancara akan dilakukan menambang berton-ton bijih untuk mendapatkan satu gram emas
Kebanyakan orang hanya omong. Mereka menjawab pertanyaanmu sebisanya. Mereka tidak merasa perlu untuk bicara menurut cerita yang ingin kamu tulis. Tugasmu untuk membentuk semua itu. Menjadi cerita yang enak.

5. Wawancara dianggap berhasil bila yang diwawancarai merasa bebas untuk mengatakan apa yang sebenarnya dipikirkan dan dirasakan.
Ini berarti kamu harus mendengarkan dengan tulus tanpa rasa ingin mengadili. Kamu harus bisa memahami pandangan dan perasaan narasumber, hingga narasumber mampu mengungkapkan jawaban dengan bebas.

Riset Kepustakaan
Septiana Santana (Jurnalisme Investigasi) menyebut bahwa riset kepustakaan sebagai riset sumber sekunder. Meskipun dinilai tak sebanding dengan sumber primer, materinya tetap layak diperhitungkan.
Bentuk riset sumber-sumber informasi sekunder ialah kamus, ensiklopedia, atlas, almanak, meliputi sejumlah catatan yang diperlukan dari buku-buku teks atau jurnal, atau dari majalah dan koran.
Akan tetapi, kebanyakan riset sumber sekunder dilakukan di perpustakaan, memanfaatkan pelbagai teks di perpustakaan.
Kini wartawan dapat memanfaatkan internet untuk melaksanakan riset lebih mendalam. Informasi data penting dari berbagai pihak bisa diperoleh melalui internet.

BAHASA JURNALISTIK INDONESIA


Disarikan dari Goenawan Mohamad

Di bawah ini diutarakan beberapa fasal, yang diharapkan bisa diterima para (calon) wartawan dalam usaha kita ke arah efisien penulisan.

HEMAT
Penghematan diarahkan ke penghematan ruangan dan waktu. Ini bisa dilakukan di dua lapisan:
(1) unsur kata
(2) unsur kalimat

Penghematan Unsur Kata

1.a) Beberapa kata Indonesia sebenarnya bisa dihemat tanpa mengorbankan tatabahasa dan jelasnya arti. Misalnya:

agar supaya ................. agar, supaya
warga masyarakat..........warga, masyarakat
akan tetapi ................. tetapi, tapi
apabila ................. bila
sehingga ................. hingga
meskipun ................. meski
walaupun ................. walau
tidak ................. tak (kecuali diujung kalimat atau berdiri sendiri).

1b) Kata daripada atau dari pada juga sering bisa disingkat jadi dari.
Misalnya:
''Keadaan lebih baik dari pada zaman sebelum perang'', menjadi ''Keadaan lebih baik sebelum perang''. Tapi mungkin masih janggal mengatakan: ''Dari hidup berputih mata, lebih baik mati berputih tulang''.

1c) Ejaan yang salahkaprah justru bisa diperbaiki dengan menghemat huruf. Misalnya:
sjah ......... sah
akhli ......... ahli
tammat ......... tamat
progressive ......... progresif
effektif ......... efektif
tahta.....takhta

Ejaan merupakan unsur dasar bahasa tertulis. Sebagai dasar, ia pegang peranan penting dalam pertumbuhan bahasa, misalnya buat penciptaan kata baru, pemungutan kata dari bahasa lain dan sebagainya.

1d) Beberapa kata mempunyai sinonim yang lebih pendek. Misalnya:
kemudian = lalu
makin = kian
terkedjut = kaget
sangat = amat
demikian = begitu
sekarang = kini

Catatan: Dua kata yang bersamaan arti belum tentu bersamaan efek, sebab bahasa bukan hanya soal perasaan. Dalam soal memilih sinonim yang telah pendek memang perlu ada kelonggaran, dengan mempertimbangkan rasa bahasa.

Penghematan Unsur Kalimat

Lebih efektif dari penghematan kata ialah penghematan melalui struktur kalimat. Banyak contoh pembikinan kalimat dengan pemborosan kata.

2a) Pemakaian kata yang sebenarnya tak perlu, di awal kalimat:
- ''Adalah merupakan kenyataan, bahwa percaturan politik internasional berubah-ubah setiap zaman''.
(Bisa disingkat: ''Merupakan kenyataan, bahwa ................'').
- ''Apa yang dinyatakan Wijoyo Nitisastro sudah jelas''.
(Bisa disingkat: ''Yang dinyatakan Wijoyo Nitisastro...........'').

2b) Pemakaian apakah atau apa (mungkin pengaruh bahasa daerah) yang sebenarnya bisa ditiadakan:
- ''Apakah Indonesia akan terus tergantung pada bantuan luar negeri''?
(Bisa disingkat: ''Akan terus tergantungkah Indonesia.....'').
- Baik kita lihat, apa(kah) dia di rumah atau tidak''.
(Bisa disingkat: ''Baik kita lihat, dia di rumah atau tidak'').

2c) Pemakaian dari sebagai terjemahan of (Inggris) dalam hubungan milik yang sebenarnya bisa ditiadakan; Juga daripada.
- ''Dalam hal ini pengertian dari Pemerintah diperlukan''.
(Bisa disingkat: ''Dalam hal ini pengertian Pemerintah diperlukan''.
- ''Sintaksis adalah bagian daripada Tatabahasa''.
(Bisa disingkat: ''Sintaksis adalah bagian Tatabahasa'').

2d) Pemakaian untuk sebagai terjemahan to (Inggris) yang sebenarnya bisa ditiadakan:
- ''Uni Soviet cenderung untuk mengakui hak-hak India''.
(Bisa disingkat: ''Uni Soviet cenderung mengakui............'').
- ''Pendirian semacam itu mudah untuk dipahami''.
(Bisa disingkat: ''Pendirian semacam itu mudah dipahami'').
- ''GINSI dan Pemerintah bersetuju untuk memperbaruhi prosedur barang-barang modal''.
(Bisa disingkat: ''GINSI dan Pemerintah bersetuju memperbaruhi.......'').

Catatan: Dalam kalimat: ''Mereka setuju untuk tidak setuju'', kata untuk demi kejelasan dipertahankan.

2e) Pemakaian adalah sebagai terjemahan is atau are (Inggris) tak selamanya perlu:
- ''Kera adalah binatang pemamah biak''.
(Bisa disingkat ''Kera binatang pemamah biak'').

Catatan: Dalam struktur kalimat lama, adalah ditiadakan, tapi kata itu ditambahkan, misalnya dalam kalimat: ''Pikir itu pelita hati''. Kita bisa memakainya, meski lebih baik dihindari. Misalnya kalau kita harus menterjemahkan ''Man is a better driver than woman'', bisa mengacaukan bila disalin: ''Pria itu pengemudi yang lebih baik dari wanita''.

2f) Pembubuhan akan, telah, sedang sebagai penunjuk waktu sebenarnya bisa dihapuskan, kalau ada keterangan waktu:
''Presiden besok akan meninjau pabrik ban Good year''
(Bisa disingkat: ''Presiden besok meninjau pabrik.........'').
- ''Tadi telah dikatakan ........''
(Bisa disingkat: ''Tadi dikatakan.'').
- ''Kini Clay sedang sibuk mempersiapkan diri''.
(Bisa disingkat: ''Kini Clay mempersiapkan diri'').

2g) Pembubuhan bahwa sering bisa ditiadakan:
- ''Pd. Gubernur Ali Sadikin membantah desas-desus yang mengatakan bahwa ia akan diganti''.
- ''Tidak diragukan lagi dia bahwa ialah orangnya yang tepat''. (Bisa disingkat: ''Tak diragukan lagi, dia lah orang yang tepat''.).

Catatan: Sebagai ganti bahwa ditaruhkan koma, atau pembuka (:), bila perlu.

2h) Yang, sebagai penghubung kata benda dengan kata sifat, kadang-kadang juga bisa ditiadakan dalam konteks kalimat tertentu:
- ''Indonesia harus menjadi tetangga yang baik dari Australia''.
(Bisa disingkat: ''Indonesia harus menjadi tetangga baik Australia'').
- ''Kami pewaris sah Yayasan Indonusa, pendiri Politeknik Indonusa.

2i) Pembentukan kata benda (ke + ..... + an atau pe + ........ + an) yang berasal dari kata kerja atau kata sifat, kadang, kadang, meski tak selamanya, menambah beban kalimat dengan kata yang sebenarnya tak perlu:
- ''Tanggul kali Citanduy kemarin mengalami ke+bobol+an''.
(Bisa dirumuskan: ''Tanggul kali Citanduy kemarin bobol'').
- ''PN Sandang menderita kerugian Rp 3 juta''.
(Bisa dirumuskan: ''PN Sandang rugi Rp 3 juta'', merugi Rp 3 juta).

Pedoman penulisan

1. Kurang dari 10 ditulis angka atau huruf: ”10 orang tewas”
Lebih dari 10 wajib ditulis angka.

Satu, Dua : kesatu, kedua, ke-dua, ke-tiga, ke-2, ke-3
HUT ke-10 Kemerdekaan RI
HUT ke-200 ke-dua ratus

2. Bertingkat, kumpulan, wajib angka
Di kelas ini ada 2 pria, 7 wanita, dengan jumlah total 9 orang.
Dari peserta ekstra kulikuler tersebut, ada 9 orang wanita, 10 waria, 3 bule, dan 1 pria, 20 orang tua, 11 anak-anak.
Kalau penulisan lebih dari empat kumpulan angka berturut-turut, lebih baik dibuat tabel.
Dari peserta ekstra kulikuler tersebut, terbanyak waria ada 9 orang, dan paling sedikit pria, ada 1 orang (perincian lihat tabel)
Dari peserta ekstra kulikuler tersebut, ada 9 orang wanita, waria (10), bule (3), dan pria (1), orang tua (20), anak-anak (11).
Awal kalimat, angka ditulis dengan huruf.

- ''Ia telah tiga kali melakukan penipuan terhadap saya''
(Bisa disingkat: ''Ia telah tiga kali menipu saya'').
- Ditandaskannya sekali lagi bahwa DPP kini sedang memikirkan langkah-langkah untuk mengadakan peremajaan dalam tubuh partai''.
(Bisa dirumuskan: ''Ditandaskannya sekali lagi, DPP sedang memikirkan langkah-langkah meremajakan tubuh partai'').

2j) Penggunaan kata sebagai dalam konteks ''dikutip sebagai mengatakan'' yang belakangan ini sering muncul (terjemahan dan pengaruh bahasa jurnalistik Inggris & Amerika), masih meragukan nilainya buat bahasa jurnalistik Indonesia.

Memang, dalam kalimat yang memakai rangkaian kata-kata itu (bahasa Inggrisnya ''quoted as saying'') tersimpul sikap berhati-hati memelihat kepastian berita.

Kalimat ''Dirjen Pariwisata dikutip sebagai mengatakan......'' tak menunjukkan Dirjen Pariwisata secara pasti mengatakan hal yang dimaksud; di situ si reporter memberi kesan ia mengutipnya bukan dari tangan pertama, sang Dirjen Pariwisata sendiri. Tapi perlu diperhitungkan mungkin kata sebagai bisa dihilangkan saja, hingga kalimatnya cukup berbunyi: ''Dirjen Pariwisata dikutip mengatakan...........''.

Bukankah masih terasa kesan bahwa si reporter tak mengutipnya dari tangan pertama?
Lagipula, seperti sering terjadi dalam setiap mode baru, pemakaian sebagai biasa menimbulkan ekses.

Contoh: Ali Sadikin menjelaskan tentang pelaksanaan membangun proyek miniatur Indonesia itu sebagai berkata: ''Itu akan dilakukan dalam tiga tahap'' 1). Kata sebagai dalam berita itu samasekali tak tepat, selain boros.

2k) Penggunaan dimana, kalau tak hati-hati, juga bisa tak tepat dan boros. Dimana sebagai kataganti penanya yang berfungsi sebagai kataganti relatif muncul dalam bahasa Indonesia akibat pengaruh bahasa Barat.

1) Dr. C. A. Mees, dalam Tatabahasa Indonesia (G. Kolff & Co., Bandung, 1953 hal. 290-294) menolak pemakaian dimana. Ia juga menolak pemakaian pada siapa, dengan siapa, untuk diganti dengan susunan kalimat Indonesia yang ''tidak meniru jalan bahasa Belanda'', dengan mempergunakan kata tempat, kawan atau teman. Misalnya: ''orang tempat dia berutang'' (bukan: pada siapa ia berutang); ''orang kawannya berjanji tadi'' (bukan: orang dengan siapa ia berjanji tadi).

Bagaimana kemungkinannya untuk bahasa jurnalistik?
Misalnya: ''Rumah dimana saya diam'', yang berasal dari ''The house where I live in'', dalam bahasa Indonesia semula sebenarnya cukup berbunyi: ''Rumah yang saya diami''. Misal lain: ''Negeri dimana ia dibesarkan'', dalam bahasa Indonesia semula berbunyi: ''Negeri tempat ia dibesarkan''.

Dari kedua misal itu terasa bahasa Indonesia semula lebih luwes, kurang kaku. Meski begitu tak berarti kita harus mencampakkan kata dimana sama sekali dari pembentukan kalimat bahasa Indonesia. Hanya sekali lagi perlu ditegaskan: penggunaan dimana, kalau tak hati-hati, bisa tak tepat dan boros. Saya ambilkan 3 contoh ekses penggunaan dimana dari 3 koran:

''Penyakit itu dianggap berasal (dan disebarkan) oleh serdadu-serdadu Amerika (GI) dimana konsentrasi besar mereka ada di Vietnam''.

''Pihak Kejaksaan Tinggi Sulut di Menado dewasa ini sedang menggarap 9 buah perkara tindak pidana korupsi/dimana ke-9 buah perkara tsb/ sebagian sudah dalam tahap penuntutan/selainnya masih dalam pengusutan.''

''Pihak Kejaksaan Tinggi Sulut di Menado belakangan menggarap perkara tindak pidana korupsi. Ke-9 perkara itu, sebagian sudah dalam tahap penuntutan. Sisanya masih dalam pengusutan''

Dalam ketiga contoh kecerobohan pemakaian dimana itu tampak: kata tersebut tak menerangkan tempat, melainkan hanya berfungsi sebagai penyambung satu kalimat dengan kalimat lain. Sebetulnya masing-masing bisa dirumuskan dengan lebih hemat:

- ''Penyakit itu dianggap berasal (dan disebarkan) serdadu-serdadu Amerika (GI), yang konsentrasi besarnya ada di Vietnam''.
- ''Selanjuntya dinyatakan bahwa keadaan ekonomi dan moneter dewasa ini masih belum menentu. Hal ini secara tidak langsung telah dapat..... dst''.

Perhatikan:
1. Kalimat itu dijadikan dua, selain bisa menghilangkan dimana, juga menghasilkan kalimat-kalimat pendek.
2. ''dewasa ini sedang'' cukup jelas dengan ''dewasa ini''.
3. kata ''9 buah'' bisa dihilangkan ''buah''-nya sebab kecuali dalam konteks tertentu, kata penunjuk-jenis (dua butir telor, 5 ekor kambing, 7 sisir pisang) kadang-kadang bisa ditiadakan dalam bahasa Indonesia mutahir.
4. Kalimat dijadikan dua. Kalimat kedua ditambahi Hal ini atau cukup Ini diawalnya.

2l) Dalam beberapa kasus, kata yang berfungsi menyambung satu kalimat dengan kalimat lain sesudahnya juga bisa ditiadakan, asal hubungan antara kedua kalimat itu secara implisit cukup jelas (logis) untuk menjamin kontinyuitas. Misalnya:
Gubernur Jawa Tengah Bibit Widodo
“Gubernur….”
Bibit saat ini menjabat gubernur

- ''Bukan kebetulan jika Gubernur menganggap proyek itu bermanfaat bagi daerahnya. Lima tahun mendatang, proyek itu bisa menampung 2500 tenaga kerja setengah terdidik''. (Kata sebab diawal kalimat kedua bisa ditiadakan: hubungan kausal antara kedua kalimat secara implisit sudah jelas).
- ''Pelatih PSSI Witarsa mengakui kekurangan-kekurangan di bidang logistik anak-anak asuhnya. Kemudian ia juga menguraikan perlunya perbaikan gizi pemain'' (Kata kemudian diawal kalimat kedua bisa ditiadakan; hubungan kronologis antara kedua kalimat secara implisit cukup jelas).

Tak perlu diuraikan lebih lanjut, bahwa dalam hal hubungan kausal dan kronologi saja kata yang berfungsi menyambung dua kalimat yang berurutan bisa ditiadakan. Kata tapi, walau atau meski yang mengesankan ada yang yang mengesankan adanya perlawanan tak bisa ditiadakan.


JELAS
Setelah dikemukakan 16 pasal yang merupakan pedoman dasar penghematan dalam menulis, di bawah ini pedoman dasar kejelasan dalam menulis. Menulis secara jelas membutuhkan dua prasyarat:
1. Si penulis harus memahami betul soal yang mau ditulisnya, bukan juga pura-pura paham atau belum yakin benar akan pengetahuannya sendiri.
2. Si penulis harus punya kesadaran tentang pembaca.

1. Memahami betul soal-soal yang mau ditulisnya berarti juga bisa menguasai bahan penulisan dalam suatu sistematik.
2. Ada orang yang sebetulnya kurang bahan (baik hasil pengamatan, wawancara, hasil bacaan, buah pemikiran) hingga tulisannya cuma mengambang.
3. Ada orang yang terlalu banyak bahan, hingga tak bisa membatasi dirinya: menulis terlalu panjang. Terutama dalam penulisan jurnalistik, tulisan kedua macam orang itu tak bisa dipakai.
4. Sebab penulisan jurnalistik harus disertai informasi faktuil atau detail pengalaman dalam mengamati, berwawancara dan membaca sumber yang akurat. Juga harus dituangkan dalam waktu dan ruangan yang tersedia. Lebih penting lagi ialah kesadaran tentang pembaca.

Sebelum kita menulis, kita harus punya bayangan (sedikit-sedikitnya perkiraan) tentang pembaca kita:

  1. Sampai berapa tinggi tingkat informasinya? Bisakah tulisan saya ini mereka pahami? Satu hal yang penting sekali diingat : tulisan kita tak hanya akan dibaca seorang atau sekelompok pembaca tertentu saja, melainkan oleh suatu publik yang cukup bervariasi dalam tingkat informasi.
  2. Pembaca harian atau majalah kita sebagian besar mungkin mahasiswa, tapi belum tentu semua tahu sebagian besar mereka tahu apa dan siapanya W. S. Renda atau B. M. Diah.

Menghadapi soal ini, pegangan penting buat penulis jurnalistik yang jelas ialah: buatlah tulisan yang tidak membingungkan orang yang yang belum tahu, tapi tak membosankan orang yang sudah tahu. Ini bisa dicapai dengan praktek yang sungguh-sungguh dan terus-menerus.

Sebuah tulisan yang jelas juga harus memperhitungkan syarat-syarat teknis komposisi:
a. tanda baca yang tertib.
b. ejaan yang tidak terlampau menyimpang dari yang lazim dipergunakan atau ejaan standard.
c. pembagian tulisan secara sistematik dalam alinea-alinea. Karena bukan tempatnya di sini untuk berbicara mengenai komposisi, cukup kiranya ditekankan perlunya disiplin berpikir dan menuangkan pikiran dalam menulis, hingga sistematika tidak kalang-kabut, kalimat-kalimat tidak melayang kesana-kemari, bumbu-bumbu cerita tidak berhamburan menyimpang dari hal-hal yang perlu dan relevan.

Menuju kejelasan bahasa, ada dua lapisan yang perlu mendapatkan perhatian:
1. unsur kata.
2. unsur kalimat.

1a. Berhemat dengan kata-kata asing. Dewasa ini begitu derasnya arus istilah-istilah asing dalam pers kita. Misalnya: income per capita, Meet the Press, steam-bath, midnight show, project officer, two China policy, floating mass, program-oriented, floor-price, City Hall, upgrading, the best photo of the year, reshuffle, approach, single, seeded dan apa lagi.

Kata-kata itu sebenarnya bisa diterjemahkan, tapi dibiarkan begitu saja. Sementara diketahui bahwa tingkat pelajaran bahasa Inggris sedang merosot, bisa diperhitungkan sebentar lagi pembaca koran Indonesia akan terasing dari informasi, mengingat timbulnya jarak bahasa yang kian melebar. Apalagi jika diingat rakyat kebanyakan memahami bahasa Inggris sepatah pun tidak.

Sebelum terlambat, ikhtiar menterjemahkan kata-kata asing yang relatif mudah diterjemahkan harus segera dimulai. Tapi sementara itu diakui: perkembangan bahasa tak berdiri sendiri, melainkan ditopang perkembangan sektor kebudayaan lain. Maka sulitlah kita mencari terjemahan lunar module, feasibility study, after-shave lotion, drive-in, pant-suit, technical know-how, backhand drive, smash, slow motion, enterpeneur, boom, longplay, crash program, buffet dinner, double-breast, dll., karena pengertian-pengertian itu tak berasal dari perbendaharaan kultural kita. Walau begitu, ikhtiar mencari salinan Indonesia yang tepat dan enak (misalnya bell-bottom dengan ''cutbrai'') tetap perlu.

1b. Menghindari sejauh mungkin akronim. Setiap bahasa mempunyai akronim, tapi agaknya sejak 15 tahun terakhir, pers berbahasa Indonesia bertambah-tambah gemar mempergunakan akronim, hingga sampai hal-hal yang kurang perlu. Akronim mempunyai manfaat: menyingkat ucapan dan penulisan dengan cara yang mudah diingat.

Dalam bahasa Indonesia, yang kata-katanya jarang bersukukata tunggal dan yang rata-rata dituliskan dengan banyak huruf, kecenderungan membentuk akronim memang lumrah. ''Hankam'', ''Bappenas'', ''Humas'' memang lebih ringkas dari ''Pertahanan & Keamanan'' ''Badan Perencanaan Pembangunan Nasional'', dan ''Hubungan Masyarakat''.

Tapi kiranya akan teramat membingungkan kalau kita seenaknya saja membikin akronim sendiri dan terlalu sering. Di samping itu, perlu diingat: ada yang membuat akronim untuk alasan praktis dalam dinas (misalnya yang dilakukan kalangan ketentaraan), ada yang membuat akronim untuk bergurau, mengejek dan mencoba lucu (misalnya di kalangan remaja sehari-hari: ''ortu'' untuk ''orangtua''; atau di pojok koran: ''keruk nasi'' untuk ''kerukunan nasional'') tapi ada pula yang membuat akronim untuk menciptakan efek propaganda dalam permusuhan politik (misalnya ''Manikebu'' untuk ''Manifes Kebudayaan'', ''Nekolim'' untuk ''neo-kolonialisme''. ''Cinkom'' untuk ''Cina Komunis'', ''ASU'' untuk ''Ali Surachman''). Bahasa jurnalistik, dari sikap objektif, seharusnya menghindarkan akronim jenis terakhir itu. Juga akronim bahasa pojok sebaiknya dihindarkan dari bahasa pemberitaan, misalnya ''Djagung'' untuk ''Djaksa Agung'', ''Gepeng'' untuk ''Gerakan Penghematan'', ''sas-sus'' untuk ''desas-desus''.

Saya tak bermaksud memberikan batas yang tegas akronim mana saja yang bisa dipakai dalam bahasa pemberitaan atau tulisan dan mana yang tidak. Saya hanya ingin mengingatkan: akronim akhirnya bisa mengaburkan pengertian kata-kata yang diakronimkan, hingga baik yang mempergunakan ataupun yang membaca dan yang mendengarnya bisa terlupa akan isi semula suatu akronim.

Misalnya akronim ''Gepeng'' jika terus-menerus dipakai bisa menyebabkan kita lupa makna ''gerakan'' dan ''penghematan'', ”gelandang” dan ”pengemis”, yang terkandung dalam maksud semula. Kita makin lama makin alpa buat apa merenungkan kembali makna semula sebelum kata-kata itu diakronimkan. Sikap analitis dan kritis kita bisa hilang terhadap kata berbentuk akronim itu, dan itulah sebabnya akronim sering dihubungkan dengan bahasa pemerintahan totaliter dan sangat penting dalam bahasa Indonesia.

Tapi seperti halnya dalam asas penghematan, asas kejelasan juga lebih efektif jika dilakukan dalam struktur kalimat. Satu-satunya untuk itu ialah dihindarkannya kalimat-kalimat majemuk yang paling panjang anak kalimatnya; terlebih-lebih lagi, jika kalimat majemuk itu kemudian bercucu kalimat.

Pada dasarnya setiap kalimat yang amat panjang, lebih dari 15-20 kata, bisa mengaburkan hal yang lebih pokok, apalagi dalam bahasa jurnalistik. Itulah sebabnya penulisan lead (awal) berita sebaiknya dibatasi hingga 13 kata. Bila lebih panjang dari itu, pembaca bisa kehilangan jejak persoalan. Apalagi bila dalam satu kalimat terlalu banyak data yang dijejalkan.

Contoh:
''Sehubungan dengan berita 'Harian X' tanggal 25 November 2011 hari Kamis berjudul: 'Tanah Kompleks IAIN Ciputat dijadikan Objek Manipulasi' (berdasarkan keterangan pers dari Hamdi Ajusa, Ketua Dewan Mahasiswa IAIN Djakarta) maka pada tanggal 28 November jbl. di Kampus IAIN tersebut telah diadakan pertemuan antara pihak Staf JPMII (Jajasan Pembangunan Madrasah Islam & Ihsan - Perwakilan Ciputat) dengan Hamdi Ajusa mewakili DM IAIN dengan maksud untuk mengadakan 'clearing' terhadap berita itu.''

Perhatikan: Kalimat itu terdiri dari 60 kata lebih. Sebagai pembaca, saya memerlukan dua kali membacanya untuk memahami yang ingin dinyatakan sang wartawan. Pada pembacaan pertama, saya kehilangan jejak perkara yang disajikan di hadapan saya. Ini artinya suatu komunikasi cepat tak tercapai. Lebih ruwet lagi soalnya jika bukan saja pembaca yang kehilangan jejak dengan dipergunakannya kalimat-kalimat panjang, tapi juga si penulis sendiri.

''Selama tour tersebut sambutan masyarakat setempat di mana mereka mengadakan pertunjukan mendapat sambutan hangat.''

Perhatikan: Penulis kehilangan subjek semula kalimatnya sendiri, yakni sambutan masyarakat setempat. Akibatnya kalimat itu berarti, ''yang mendapat sambutan hangat ialah sambutan masyarakat setempat.''

''Di kampung-kampung kelihatan orang-orang lebih bersemarak lebaran, ketupat beserta sayur dan sedikit daging semur, opor ayam ikut berlebaran. Dari rumah yang satu ke rumah yang lain, ketupat-ketupat tersebut saling mengunjungi dan di langgar-langgar, surau-surau ramai pula ketupat-ketupat, daging semur, opor ayam disantap bersama oleh mereka.''

Perhatikan: Siapa yang dimaksud dengan kata ganti mereka dalam kalimat itu? Si penulis nampaknya lupa bahwa ia sebelumnya tak pernah menyebut ''orang-orang kampung''. Mengingat dekat sebelum itu ada kalimat ketupat-ketupat tersebut saling mengunjungi dan kalimat surau-surau ramai pula ketupat-ketupat, kalimat panjang itu bisa berarti aneh dan lucu: ''daging semur, opor ayam disantap bersama oleh ketupat-ketupat.