Minggu, 16 September 2012
JENIS JENIS TERAS/LEAD(Kepala Berita)
1. Teras Narasi
Model teras ini bertujuan menarik orang seolah-olah masuk ke dalam cerita. Caranya dengan bertutur bak seorang narator yang menciptakan satu suasana dan melibatkan pembaca di tengah-tengah kejadian yang berlangsung. Teras ini ampuh untuk menggugah emosi pembaca seperti dalam film yang baik. Teras semacam ini sangat efektif untuk cerita petualangan. Misalkan seorang wartawan yang melaporkan suasana di sudut sebuah rumah di Bosnia Herzegovina yang lagi dilanda perang saudara.
Kami makan anggur kematian, dan anggur itu lezat. Berair, biru kehitaman, manis dan asam. Mereka menggantungkan setandan anggur masak di beranda belakang rumah milik seorang muslim yang istrinya belum lama tewas oleh bom orang Serbia. Inilah senja di Bosnia, langit sama biru tuanya dengan anggur-anggur itu. (TEMPO, 27 Maret 1993, "Potret Berdarah dari Dalam").
2. Teras Pertanyaan
Salah satu sifat yang dimiliki manusia adalah keinginan untuk mengetahui segala sesuatu dengan bertanya. Inilah yang membuat teras pertanyaan ini menarik. Teras pertanyaan biasanya bernada skeptis, mempertanyakan segala sesuatu, meragukan apa yang telah diterima, dan mewaspadai segala kepastian agar tidak mudah tertipu. Teras ini merangsang keingintahuan pembaca dengan menyodorkan pertanyaan kreatif, menggelitik, merangsang rasa ingin tahu pembaca.
Benarkah krisis betul-betul mendera segala lapisan masyarakat? Indonesia disebut mengalami krisis namun mobil-mobil keluaran terbaru selalu laris manis.
3. Teras Deskriptif
Teras deskriptif biasanya menciptakan gambaran dalam pikiran pembaca tentang suatu tokoh atau tempat kejadian. Model ini menggambarkan sebuah kejadian sedemikian rupa dan detail, sehingga pembaca merasa berada tidak jauh dari lokasi kejadian. Teras narasi meletakkan pembaca di tengah adegan atau kejadian dalam cerita, sedangkan teras deskriptif menempatkan pembaca beberapa meter di luarnya, dalam posisi menonton, mendengar, dan mencium baunya.
Wajah Syaiful Rozi bin Kahar sama sekali tak mengesankan bahwa ia seorang bajak laut. Ia berpembawaan halus, sopan, dan ramah (TEMPO, 28 Agustus 1993, "Perompak yang Halus dan Ramah").
4. Teras Perbandingan
Model ini berbentuk perbandingan. Penulis membandingkan sesuatu dengan sesuatu yang lain. Obyek perbandingan penulis bisa manusia, tempat, suasana hati, karakteristik dan seterusnya.
Sepuluh tahun lalu kota yang dikelilingi bukit-bukit dan seakan dipangku oleh sebuah gunung itu terasa sejuk. Udaranya segar sekali. Pohon-pohon besar, dan hutan lindung yang mengelilinginya membuat hujan sangat sering datang menyambangi. Kini, tatkala pabrik-pabrik merambah, tatkala alat-alat transportasi penduduk berseliweran memadati jalan-jalan kota yang dulu cukup lengang, cuaca di kota itu pun berubah total: panas menyengat, membuat gerah warganya.
5. Teras Ringkasan (5W + 1H)
Teras ini serupa dengan berita yang biasanya memuat unsur 5W + 1H (who, what, when,WHERE, why, how). Model teras ini termasuk model teras yang paling sering dipakai penulis artikel koran.
Tahapan ketiga Speedy Tour d"Indonesia 2010 berlangsung kacau. Itu terjadi tatkala, rombongan besar pembalap dan sejumlah ofisial, tersesat di Jalan Utara Adiwerna, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah. Akibatnya, balapan pada Selasa (26/10) itu pun terpaksa harus di-restart (start ulang, Red).
(Kompas, 27 Oktober 2010, "Balapan Kacau, Pembalap Salah Jalur")
6. Teras Kutipan
Kutipan yang bermakna dan pendek bisa membuat teras menarik, terutama kutipan orang yang terkenal atau kata-kata bijak. Kutipan yang dipakai biasanya berupa pernyataan yang tidak lazim, memotivasi, kontroversial, atau mengundang tanya
"Beri aku 10 pemuda, karena dengan mereka aku akan mengguncangkan dunia." Demikian penggalan pidato yang pernah dilontarkan oleh Soekarno untuk menggugah semangat pemuda-pemudi negeri ini sekaligus menunjukkan bagaimana pentingnya peran pemuda dalam mengubah peradaban dunia.
7. Teras Menuding
Dalam model ini, penulis berkomunikasi langsung dengan pembaca. Ciri-ciri teras ini adalah ditemukannya kata "Anda" yang disisipkan pada paragraf pertama atau di tempat lain. Keuntungannya jelas. Pembaca menjadi bagian cerita. Penyusunan kata-katanya melibatkan Anda dalam cerita itu.
Bila Anda punya nama "kodian", harap hati-hati. Salah-salah Anda kena cekal, tak boleh ke luar negeri (TEMPO, 30 Januari 1993, "Gara-gara Nama Sama".)
8. Teras Penggoda
Teras penggoda ini adalah cara untuk "mengelabui" pembaca dengan bergurau. Tujuan utamanya menggaet perhatian pembaca dan menuntunnya supaya membaca seluruh cerita. Kalimat atau kata-kata dalam teras ini biasanya berupa teka-teki agar pembaca penasaran untuk terus membaca.
Angka yang ditunggu-tunggu itu keluar juga: sekitar 50. (TEMPO, 4 Januari 1992, "Angka Misterius Santa Cruz".)
9. Teras Stakato
Teras yang baik bisa menciptakan "mood". Suasana dibuat seakan licin, halus sehingga enak untuk memasuki alinea berikut. Salah satu cara yang bisa digunakan adalah dengan menempatkan ungkapan ekspresi atau frasa pembuka yang terkesan menggantung, terputus atau belum selesai.
Minggu. Saat untuk membuat segalanya berhenti.
10. Teras Nyentrik
Merasa tidak puas dengan teras yang "begitu-begitu" saja, ada penulis feature yang mencoba membuat teras yang, bukan saja tidak lazim, tetapi sungguh aneh. Tujuannya, apalagi kalau bukan memikat pembaca?
Hijau sayuran Putihlah susu. Naik harga makanan Ke langit biru
Reporter yang imajinatif -- meskipun tidak puitis -- bisa mencoba teras seperti ini pada saat menulis cerita tentang kenaikan harga. Teras ini memikat dan informatif. Gayanya yang khas dan tak kenal kompromi itu bisa menarik pembaca, hingga ceritanya bisa laku.
Teras ini paling ekstrem dalam bertingkah. Akan tetapi, nada teras ini perlu dijaga sepanjang keseluruhan cerita. Model teras ini ada bahayanya. Wartawan hidup dalam dunia kata-kata. Teras nyentrik membuka peluang wartawan untuk mengobral permainan kata hingga bombastis. Hanya kebijaksanaan yang tegas yang bisa mencegah banjirnya permainan kata itu.
Teras nyentrik bisa juga hanya melukiskan suara bunyi-bunyian. Suara hewan, mesin, motor, angin, serta benda-benda bergerak lainnya yang bisa digarap menjadi pembuka artikel. Penulis bisa menggunakan suara-suara yang sudah lazim di telinga pembaca, atau sebaliknya justru yang sama sekali asing atau aneh.
"Tak dududuktak. Duk." (TEMPO, 5 Januari 1985, "Mereka Bergerak, Selebihnya Silakan Lihat.")
11. Teras Gabungan
Di surat kabar sering ditemukan teras yang merupakan gabungan dari dua atau tiga teras, dengan mengambil unsur terbaik dari masing-masing teras. Teras ini dibuat untuk memperoleh efek ganda yang lebih dramatis. Teras kutipan sering digabungkan dengan teras deskriptif.
"Bukan salahku bahwa aku belum mati sekarang," kata Fidel Castro dengan senyum lucu (TEMPO, 7 Mei 1994, "Castro, Revolusioner yang Belum Pensiun").
Dari sebelas model teras ini, apa yang paling cocok dengan gaya tulisan dan jenis tulisan Anda? Atau barangkali, Anda ingin bereksperimen membuat model teras sendiri. Kita memang memiliki cukup banyak pilihan teras, tetapi pilihan-pilihan ini tidak membatasi kita untuk berkreasi dan membuat model teras yang beda! Anda bisa mengerahkan kreativitas Anda untuk menciptakan jenis teras yang unik dan cocok untuk Anda.
REPORTASE
REPORTASE adalah Kegiatan
jurnalistik dalam bentuk peliputan aktif, observatif, langsung, menggunakan
pancaindra sang wartawan sendiri, ke suatu sumber berita yang NYATA.
1. Dalam
reportase, wartawan mendatangi langsung lokasi sumber berita, bisa berupa
kejadian, narasumber, atau yang terkait dengannya.
2. Dalam kegiatan
reportase, wartawan mengumpulkan fakta dan data seputar peristiwa tersebut.
Minimal, fakta dan data yang dikumpulkan harus memenuhi unsur-unsur berita
5W+1H. Atau sesuai dengan target dari proses reportase yang diinginkan.
....meliput kejadian kecelakaan di lapangan tentu berbeda
dengan liputan meminta konfirmasi seorang pejabat..
...dalam dunia jurnalistik media cetak dikenal kloning
berita (copy paste) berita.
Menurut Luwi
Ishwara (Catatan-Catatan Jurnalisme Dasar) : faktor INGIN TAHU adalah kunci
utama kegiatan reportase. Ada beberapa teknik yang bisa dilakukan untuk
mengembangkan keingintahuan ini:
1. Tempatkan diri
Anda sebagai pembaca....
Apa yang membuat berita
itu penting dan menarik? Seandainya Anda terpengaruh oleh berita itu, apa yang
Anda inginkan dan butuhkan untuk mengetahui peristiwanya?
2. Memakai metode
garis waktu, dengan cara menelusuri urutan kejadian itu.
Berawal dari kejadian saat
ini, lihatlah ke masa lalu dan ke masa mendatang. Apa yang terjadi sekarang?
Bagaimana peristiwa itu mulai berkembang? Bagaimana urutannya dan apa tindakan
berikutnya? Pertanyaan yang melibatkan urutan waktu ini akan memberikan jawaban
tentang latar belakang dan kronologis dari berita Anda.
3. Membayangkan
diri sebagai detektif yang sedang menghadapi misteri atau konflik suatu kasus
pembunuhan.
Pertanyaan apa yang akan
Anda ajukan untuk memecahkan masalah atau kejahatan itu? Pertanyaan-pertanyaan
ini akan berpusat pada apa yang terjadi, motif, akibat, dan petunjuk untuk
mengungkapkan kebenaran.
Dalam jurnalistik,
khususnya media cetak, dikenal istilah running news. Yaitu, proses reportase
berita yang merupakan lanjutan dari berita terdahulu. Baik dalam kurun waktu
dekat, ataupun silam.
4. Buat daftar
semua pertanyaan yang timbul dalam pikiran Anda, mengenai gagasan berita Anda.
Kemudian kerahkan daya pikir tentang hal-hal penting yang
ingin Anda liput, dalam bentuk brainstorming and mapping technique.
Reportase Peristiwa
Reportase
merupakan kegiatan observasi langsung
wartawan, untuk mengetahui peristiwa secara lebih tepercaya.
Reportase peristiwa
secara garis besar terbagi dua:
1. Peristiwa yang
diduga terjadi atau direncanakan terjadi.
Misalnya : perayaan,
pertunjukan, rapat.
2. Peristiwa yang
tidak terduga.
Misalnya: bencana
alam, kerusuhan, kecelakaan.
Dari segi
substansi atau jenis peristiwa, Asep Syamsul M. Romli (Jurnalisme Praktis untuk
Pemula), ada dua cara reportase, yaitu beat
system, dan follow up system.
Beat system
Sistem pencarian
bahan berita yang mengacu pada beat (bidang
liputan). Yaitu, meliput peristiwa dengan mendatangi secara teratur instansi
pemerintah atau swasta, atau tempat-tempat yang dimungkinkan memunculkan
peristiwa, informasi, atau hal-hal yang bisa menjadi bahan berita.
Follow up system
Yaitu meliput
bahan berita dengan cara menindaklanjuti (follow
up) berita yang sudah ditulis.
Romli menekankan dalam
melakukan kegiatan reportase, wartawan harus memperhatikan:
1. Kode Etik
Jurnalistik atau Kode Etik Wartawan Indonesia
2. Fairness
Doctrine (Doktrin Kejujuran).
”....mendapatkan berita yang benar lebih penting daripada
menjadi wartawan pertama yang menyiarkan/menulisnya....”
3. Cover both side atau news balance, yakni perlakuan adil dan
tidak berpihak, terhadap semua pihak yang menjadi objek berita. Caranya, dengan
meliput semua atau kedua belah pihak yang terhadap dalam peristiwa.
4. Cek dan ricek,
yakni meneliti kebenaran sebuah fakta/data, beberapa kali sebelum
menuliskannya.
5. Menghormati off the record. Narasumber yang meminta
namanya dirahasiakan, keterangannya tidak untuk dimuat, hanya memberikan
informasi, dijamin dalam Kode Etik Jurnalistik dan Undang-Undang Pers. Bahkan,
pelanggaran terhadap off the record bisa berujung delik pengaduan berdasarkan
Undang-Undang Hukum Pidana.
Wawancara
Tujuan: menggali
informasi, komentar, opini, fakta, atau data tentang suatu masalah atau
peristiwa dengan mengajukan pertanyaan kepada narasumber.
Ermanto (Menjadi
Wartawan Handal dan Profesional) membedakan wawancara jurnalistik dari berbagai
sudut pandang:
1. Wawancara
berdasarkan informasi yang diperoleh
a. Information
interview
Information interview adalah wawancara yang dilaksanakan
oleh wartawan untuk memperoleh keterangan, informasi, data, dan fakta suatu
peristiwa.
b. Feature interview/personality interview
Feature interview/personality interview merupakan
wawancara untuk menggali cerita kehidupan seseorang yang akan dijadikan berita.
c. Opini
interview
Opini interview adalah jenis wawancara yang dilakukan
oleh wartawan untuk mendapatkan pendapat, opini, gagasan, dan ide dari satu
atau lebih sumber berita.
2. Wawancara
berdasarkan sarana yang digunakan
a. Wawancara
melalui telepon
Wawancara melalui telepon merupakan jenis wawancara yang
sering digunakan. Jenis wawancara ini dapat menghemat waktu, dapat berhubungan
dengan cepat dengan narasumber yang sulit meluangkan waktu pertemuan. Secara
lebih khusus, keterbatasan waktu menggunakan telepon dapat membatasi jumlah
topik pertanyaan dan akan mengajukan pertanyaan yang penting dan perlu.
Jenis reportase ini SANGAT RISKAN dan rawan menuai
komplain, fitnah, dan memengaruhi kualitas sebuah berita atau wawancara di mata
narasumber.
b. Wawancara
tatap muka
Wawancara ini memiliki kelebihan, karena memberikan waktu
lebih banyak untuk memperoleh informasi yang dikehendaki serta akan muncul
informasi baru selama wawancara.
c. Wawancara
melalui konferensi pers
Wawancara dalam konferensi pers sangat sering dilakukan
oleh lembaga resmi, baik pemerintah maupun swasta. Wawancara melalui konferensi
pers sangat terbatas.
Ini tentu menyulitkan wartawan untuk mengumpulkan
informasi yang berharga. Keuntungannya, apabila wartawan diberi kesempatan
bertanya, serta mengadakan perjanjian untuk melanjutkan wawancara di waktu dan
tempat yang lain.
d. Wawancara
tertulis
Wawancara tertulis merupakan jenis wawancara dengan
mengajukan pertanyaan tertulis kepada narasumber dan narasumber akan
menjawabnya secara tertulis pula.
Wawancara seperti ini dilakukan karena narasumber tidak
memiliki waktu untuk wawancara tatap muka atau dengan tujuan untuk memberi
waktu berpikir kepada narasumber. Wawancara ini biasanya dilakukan untuk
mengungkapkan persoalan yang rumit, sehingga narasumber harus berhati-hati
mengemukakan pendapatnya.
3. Wawancara
berdasarkan kesiapan pelaksanaan wawancara
a. Wawancara
mendesak
Disebut pula wawancara mendadak. Wawancara jenis ini
dilakukan dalam keadaan yang mendesak, karena tidak direncanakan. Disinilah
diperlukan kejelian wartawan. Melalui wawancara ini, wartawan memperoleh bahan
berita di luar dugaan, yang mungkin belum tentu diperoleh wartawan lain.
b. Wawancara
terencana
Wawancara terencana ini merupakan wawancara yang sudah
direncanakan wartawan. Bentuk perencanaan bisa dilakukan oleh wartawan sendiri
atau secara tim. Walaupun demikian, wawancara ini sedapat mungkin harus ada
kontak terlebih dahulu dengan narasumber, sehingga wawancara yang dilakukan
dapat berjalan sebaik mungkin.
KRITERIA
Narasumber
1. Kredibel,
orang nomer satu, terkenal atau terkemuka, pakar di bidangnya, memiliki
wewenang, berprestasi atau unggul;
2. Tajam dan
analitis;
3. Kaya data dan
informasi mutakhir;
4. Berani bicara
apa adanya;
5. Berpikir
runut;
6. Berwawasan
luas;
7. Bukan jago
kandang;
8. Konsisten;
9. Gampang
dihubungi;
10. Paham dunia
jurnalistik.
Pemilihan
narasumber ini tentu berkaitan dengan bidang kajian yang kuasai narasumber.
Namun ada kalanya kita akan mewawancarai orang-orang yang tidak masuk kriteria
tersebut, namun informasinya penting, dan terpercaya, seperti kesaksian seorang
korban bencana alam. Maka kita juga harus pandai dalam mencari narasumber, dan
mewancarainya.
Tahap persiapan
dan tahap pelaksanaan wawancara.
1. Tahap
Persiapan Wawancara
a. Pewawancara
yang baik tidak berangkat dengan kepala kosong. Dia harus memahami topik
pembicaraan dan permasalahan yang ada seputar topik tersebut.
b. Pewawancara
harus merumuskan pertanyaan. Tentu saja, rumusan pertanyaan yang telah disusun
tidak bersifat kaku, melainkan fleksibel.
c. Pewawancara
menjalin hubungan dengan pihak yang hendak diwawancarai.
2. Tahap
Pelaksanaan Wawancara
Kunci utama
wawancara adalah menyebutkan identitas kewartawanan anda!
Lalu....
a. Pewawancara datang tepat waktu.
b. Pewawancara memperhatikan penampilan....sesuaikan
dengan SITUASI dan KONDISI WAWANCARA. Jangan pakai jas waktu wawancara di event
olahraga di kolam renang. Atau pakai jeans di dalam istana negara.
c. Pewawancara datang dengan persiapan dan
pengetahuan masalah.
d. Pewawancara
sebaiknya mengemukakan alasan kedatangan (maksud dan tujuan) sebagai pengantar
atau basa-basi untuk menjaga suasana psikologis interviewee.
e. Pertanyaan
yang diajukan pewawancara hendaknya dimulai dengan hal-hal umum (secara garis
besar), dan setiap pertanyaan mengarahkan narasumber pada inti persoalan.
f. Pertanyaan
tidak bersifat interogatif atau terkesan memojokkan interviewee sebagai
“terdakwa”, dan hindari sebisa mungkin perkataan yang cenderung “menggurui”.
g. Pewawancara
mendengarkan jawaban dengan baik, dan boleh menyela jika interviewee menyimpang
dari topik wawancara. Sebisanya selaan dilakukan ketika interviewee dalam
keadaan rileks.
h. Siapkan
catatan dan perekam suara. Jangan ragu untuk menuliskan dan mengajukan
pertanyaan baru yang muncul saat mendengarkan pembicaraan interviewee. Sebab,
dalam proses wawancara kadang muncul masalah baru yang bisa dikembangkan.
Dengan kata lain, pewawancara harus siap mengembangkan masalah asalkan masih
berkaitan dengan tema yang dibicarakan.
Selain itu,
pelaksanaan wawancara akan lebih baik jika pewawancara mengenal baik biografi
interviewee, jabatannya, perwatakannya, hobinya, dan lain-lain menyangkut diri
narasumber. Adapun hal-hal lain yang harus dihindari selama wawancara antara
lain jangan menjilat, sok akrab, dan menjual nama orang.
Menurut Luwi
Ishwara ada prinsip praktis yang layak diperhatikan selama wawancara.
1. Terbuka dan
beri perhatian
Reportase, kata A.J. Liebling, umumnya adalah menaruh
perhatian pada setiap orang yang kamu jumpai. Kamu tidak harus menyukai setiap
orang yang kamu wawancarai. Tetapi kamu harus bisa memberi perhatian padanya.
2. Kamu akan
menuai hasil dari apa yang kamu tanam
Ada prinsip penting dalam wawancara, “pertanyaan yang
bodoh menghasilkan jawaban yang bodoh”. Karena itu, berhati-hatilah mengajukan
pertanyaan. Persiapkan dengan seksama pertanyaanmu.
Contoh :
Apa pendapat bapak tentang kasus A.....
Pak, katanya kemarin......
(mencerminkan tidak punya bahan)
Bandingkan dengan
Pak, jam 12.00 wib kemarin bapak terlihat sama perempuan
tidak pake jilbab, bapak mesra-mesraan di tempat umum. Padahal, setahu saya,
istri bapak berjilbab.....
3. Orang akan
bicara lebih bebas jika mereka senang
Kamu bisa membuat wawancara menyenangkan dengan cara
mendengarkan sungguh-sungguh, dengan menghargai orang sebagai teman sesama,
dengan tawa tulus menyambut banyolan mereka, dengan mengajukan pertanyaan yang
didasarkan pada persiapan matang sebelumnya dan dengan mendengarkan apa yang
mereka katakan
.
4. Dalam wawancara
akan dilakukan menambang berton-ton bijih untuk mendapatkan satu gram emas
Kebanyakan orang hanya omong. Mereka menjawab
pertanyaanmu sebisanya. Mereka tidak merasa perlu untuk bicara menurut cerita
yang ingin kamu tulis. Tugasmu untuk membentuk semua itu. Menjadi cerita yang
enak.
5. Wawancara
dianggap berhasil bila yang diwawancarai merasa bebas untuk mengatakan apa yang
sebenarnya dipikirkan dan dirasakan.
Ini berarti kamu harus mendengarkan dengan tulus tanpa
rasa ingin mengadili. Kamu harus bisa memahami pandangan dan perasaan
narasumber, hingga narasumber mampu mengungkapkan jawaban dengan bebas.
Riset Kepustakaan
Septiana Santana (Jurnalisme
Investigasi) menyebut bahwa riset kepustakaan sebagai riset sumber sekunder.
Meskipun dinilai tak sebanding dengan sumber primer, materinya tetap layak
diperhitungkan.
Bentuk riset
sumber-sumber informasi sekunder ialah kamus, ensiklopedia, atlas, almanak,
meliputi sejumlah catatan yang diperlukan dari buku-buku teks atau jurnal, atau
dari majalah dan koran.
Akan tetapi,
kebanyakan riset sumber sekunder dilakukan di perpustakaan, memanfaatkan
pelbagai teks di perpustakaan.
Kini wartawan
dapat memanfaatkan internet untuk melaksanakan riset lebih mendalam. Informasi
data penting dari berbagai pihak bisa diperoleh melalui internet.
BAHASA JURNALISTIK INDONESIA
Disarikan dari Goenawan
Mohamad
Di bawah ini diutarakan
beberapa fasal, yang diharapkan bisa diterima para (calon) wartawan dalam usaha
kita ke arah efisien penulisan.
HEMAT
Penghematan diarahkan ke
penghematan ruangan dan waktu. Ini bisa dilakukan di dua lapisan:
(1) unsur kata
(2) unsur kalimat
Penghematan Unsur Kata
1.a) Beberapa kata
Indonesia sebenarnya bisa dihemat tanpa mengorbankan tatabahasa dan jelasnya
arti. Misalnya:
agar supaya
................. agar, supaya
warga
masyarakat..........warga, masyarakat
akan tetapi
................. tetapi, tapi
apabila
................. bila
sehingga
................. hingga
meskipun
................. meski
walaupun
................. walau
tidak .................
tak (kecuali diujung kalimat atau berdiri sendiri).
1b) Kata daripada atau dari pada juga sering bisa disingkat jadi dari.
Misalnya:
''Keadaan lebih baik
dari pada zaman sebelum perang'', menjadi ''Keadaan lebih baik sebelum
perang''. Tapi mungkin masih janggal mengatakan: ''Dari hidup berputih mata,
lebih baik mati berputih tulang''.
1c) Ejaan yang
salahkaprah justru bisa diperbaiki dengan menghemat huruf. Misalnya:
sjah ......... sah
akhli ......... ahli
tammat ......... tamat
progressive .........
progresif
effektif .........
efektif
tahta.....takhta
Ejaan merupakan unsur
dasar bahasa tertulis. Sebagai dasar, ia pegang peranan penting dalam
pertumbuhan bahasa, misalnya buat penciptaan kata baru, pemungutan kata dari
bahasa lain dan sebagainya.
1d) Beberapa kata mempunyai
sinonim yang lebih pendek. Misalnya:
kemudian = lalu
makin = kian
terkedjut = kaget
sangat = amat
demikian = begitu
sekarang = kini
Catatan: Dua kata yang
bersamaan arti belum tentu bersamaan efek, sebab bahasa bukan hanya soal
perasaan. Dalam soal memilih sinonim yang telah pendek memang perlu ada
kelonggaran, dengan mempertimbangkan rasa bahasa.
Penghematan Unsur
Kalimat
Lebih efektif dari
penghematan kata ialah penghematan melalui struktur kalimat. Banyak contoh
pembikinan kalimat dengan pemborosan kata.
2a) Pemakaian kata yang
sebenarnya tak perlu, di awal kalimat:
- ''Adalah merupakan
kenyataan, bahwa percaturan politik internasional berubah-ubah setiap zaman''.
(Bisa disingkat:
''Merupakan kenyataan, bahwa ................'').
- ''Apa yang dinyatakan
Wijoyo Nitisastro sudah jelas''.
(Bisa disingkat: ''Yang
dinyatakan Wijoyo Nitisastro...........'').
2b) Pemakaian apakah
atau apa (mungkin pengaruh bahasa daerah) yang sebenarnya bisa ditiadakan:
- ''Apakah Indonesia
akan terus tergantung pada bantuan luar negeri''?
(Bisa disingkat: ''Akan
terus tergantungkah Indonesia.....'').
- Baik kita lihat,
apa(kah) dia di rumah atau tidak''.
(Bisa disingkat: ''Baik
kita lihat, dia di rumah atau tidak'').
2c) Pemakaian dari
sebagai terjemahan of (Inggris) dalam hubungan milik yang sebenarnya bisa
ditiadakan; Juga daripada.
- ''Dalam hal ini
pengertian dari Pemerintah diperlukan''.
(Bisa disingkat: ''Dalam
hal ini pengertian Pemerintah diperlukan''.
- ''Sintaksis adalah
bagian daripada Tatabahasa''.
(Bisa disingkat:
''Sintaksis adalah bagian Tatabahasa'').
2d) Pemakaian untuk
sebagai terjemahan to (Inggris) yang sebenarnya bisa ditiadakan:
- ''Uni Soviet cenderung
untuk mengakui hak-hak India''.
(Bisa disingkat: ''Uni
Soviet cenderung mengakui............'').
- ''Pendirian semacam
itu mudah untuk dipahami''.
(Bisa disingkat:
''Pendirian semacam itu mudah dipahami'').
- ''GINSI dan Pemerintah
bersetuju untuk memperbaruhi prosedur barang-barang modal''.
(Bisa disingkat: ''GINSI
dan Pemerintah bersetuju memperbaruhi.......'').
Catatan: Dalam kalimat:
''Mereka setuju untuk tidak setuju'', kata untuk demi kejelasan dipertahankan.
2e) Pemakaian adalah
sebagai terjemahan is atau are (Inggris) tak selamanya perlu:
- ''Kera adalah binatang
pemamah biak''.
(Bisa disingkat ''Kera
binatang pemamah biak'').
Catatan: Dalam struktur
kalimat lama, adalah ditiadakan, tapi kata itu ditambahkan, misalnya dalam
kalimat: ''Pikir itu pelita hati''. Kita bisa memakainya, meski lebih baik
dihindari. Misalnya kalau kita harus menterjemahkan ''Man is a better driver
than woman'', bisa mengacaukan bila disalin: ''Pria itu pengemudi yang lebih
baik dari wanita''.
2f) Pembubuhan akan,
telah, sedang sebagai penunjuk waktu sebenarnya bisa dihapuskan, kalau ada
keterangan waktu:
''Presiden besok akan meninjau
pabrik ban Good year''
(Bisa disingkat:
''Presiden besok meninjau pabrik.........'').
- ''Tadi telah dikatakan
........''
(Bisa disingkat: ''Tadi
dikatakan.'').
- ''Kini Clay sedang
sibuk mempersiapkan diri''.
(Bisa disingkat: ''Kini
Clay mempersiapkan diri'').
2g) Pembubuhan bahwa
sering bisa ditiadakan:
- ''Pd. Gubernur Ali
Sadikin membantah desas-desus yang mengatakan bahwa ia akan diganti''.
- ''Tidak diragukan lagi
dia bahwa ialah orangnya yang tepat''. (Bisa disingkat: ''Tak diragukan lagi, dia
lah orang yang tepat''.).
Catatan: Sebagai ganti
bahwa ditaruhkan koma, atau pembuka (:), bila perlu.
2h) Yang, sebagai
penghubung kata benda dengan kata sifat, kadang-kadang juga bisa ditiadakan
dalam konteks kalimat tertentu:
- ''Indonesia harus
menjadi tetangga yang baik dari Australia''.
(Bisa disingkat:
''Indonesia harus menjadi tetangga baik Australia'').
- ''Kami pewaris sah Yayasan
Indonusa, pendiri Politeknik Indonusa.
2i) Pembentukan kata
benda (ke + ..... + an atau pe + ........ + an) yang berasal dari kata kerja
atau kata sifat, kadang, kadang, meski tak selamanya, menambah beban kalimat
dengan kata yang sebenarnya tak perlu:
- ''Tanggul kali
Citanduy kemarin mengalami ke+bobol+an''.
(Bisa dirumuskan:
''Tanggul kali Citanduy kemarin bobol'').
- ''PN Sandang menderita
kerugian Rp 3 juta''.
(Bisa dirumuskan: ''PN
Sandang rugi Rp 3 juta'', merugi Rp 3 juta).
Pedoman penulisan
1. Kurang dari 10
ditulis angka atau huruf: ”10 orang tewas”
Lebih dari 10 wajib
ditulis angka.
Satu, Dua : kesatu,
kedua, ke-dua, ke-tiga, ke-2, ke-3
HUT ke-10 Kemerdekaan RI
HUT ke-200 ke-dua ratus
2. Bertingkat, kumpulan,
wajib angka
Di kelas ini ada 2 pria,
7 wanita, dengan jumlah total 9 orang.
Dari peserta ekstra
kulikuler tersebut, ada 9 orang wanita, 10 waria, 3 bule, dan 1 pria, 20 orang
tua, 11 anak-anak.
Kalau penulisan lebih
dari empat kumpulan angka berturut-turut, lebih baik dibuat tabel.
Dari peserta ekstra
kulikuler tersebut, terbanyak waria ada 9 orang, dan paling sedikit pria, ada 1
orang (perincian lihat tabel)
Dari peserta ekstra
kulikuler tersebut, ada 9 orang wanita, waria (10), bule (3), dan pria (1),
orang tua (20), anak-anak (11).
Awal kalimat, angka
ditulis dengan huruf.
- ''Ia telah tiga kali
melakukan penipuan terhadap saya''
(Bisa disingkat: ''Ia
telah tiga kali menipu saya'').
- Ditandaskannya sekali
lagi bahwa DPP kini sedang memikirkan langkah-langkah untuk mengadakan
peremajaan dalam tubuh partai''.
(Bisa dirumuskan:
''Ditandaskannya sekali lagi, DPP sedang memikirkan langkah-langkah meremajakan
tubuh partai'').
2j) Penggunaan kata
sebagai dalam konteks ''dikutip sebagai mengatakan'' yang belakangan ini sering
muncul (terjemahan dan pengaruh bahasa jurnalistik Inggris & Amerika),
masih meragukan nilainya buat bahasa jurnalistik Indonesia.
Memang, dalam kalimat
yang memakai rangkaian kata-kata itu (bahasa Inggrisnya ''quoted as saying'')
tersimpul sikap berhati-hati memelihat kepastian berita.
Kalimat ''Dirjen
Pariwisata dikutip sebagai mengatakan......'' tak menunjukkan Dirjen Pariwisata
secara pasti mengatakan hal yang dimaksud; di situ si reporter memberi kesan ia
mengutipnya bukan dari tangan pertama, sang Dirjen Pariwisata sendiri. Tapi
perlu diperhitungkan mungkin kata sebagai bisa dihilangkan saja, hingga
kalimatnya cukup berbunyi: ''Dirjen Pariwisata dikutip mengatakan...........''.
Bukankah masih terasa
kesan bahwa si reporter tak mengutipnya dari tangan pertama?
Lagipula, seperti sering
terjadi dalam setiap mode baru, pemakaian sebagai biasa menimbulkan ekses.
Contoh: Ali Sadikin
menjelaskan tentang pelaksanaan membangun proyek miniatur Indonesia itu sebagai
berkata: ''Itu akan dilakukan dalam tiga tahap'' 1). Kata sebagai dalam berita
itu samasekali tak tepat, selain boros.
2k) Penggunaan dimana,
kalau tak hati-hati, juga bisa tak tepat dan boros. Dimana sebagai kataganti
penanya yang berfungsi sebagai kataganti relatif muncul dalam bahasa Indonesia
akibat pengaruh bahasa Barat.
1) Dr. C. A. Mees, dalam
Tatabahasa Indonesia (G. Kolff & Co., Bandung, 1953 hal. 290-294) menolak
pemakaian dimana. Ia juga menolak pemakaian pada siapa, dengan siapa, untuk
diganti dengan susunan kalimat Indonesia yang ''tidak meniru jalan bahasa
Belanda'', dengan mempergunakan kata tempat, kawan atau teman. Misalnya: ''orang
tempat dia berutang'' (bukan: pada siapa ia berutang); ''orang kawannya
berjanji tadi'' (bukan: orang dengan siapa ia berjanji tadi).
Bagaimana kemungkinannya
untuk bahasa jurnalistik?
Misalnya: ''Rumah dimana
saya diam'', yang berasal dari ''The house where I live in'', dalam bahasa
Indonesia semula sebenarnya cukup berbunyi: ''Rumah yang saya diami''. Misal
lain: ''Negeri dimana ia dibesarkan'', dalam bahasa Indonesia semula berbunyi:
''Negeri tempat ia dibesarkan''.
Dari kedua misal itu
terasa bahasa Indonesia semula lebih luwes, kurang kaku. Meski begitu tak
berarti kita harus mencampakkan kata dimana sama sekali dari pembentukan
kalimat bahasa Indonesia. Hanya sekali lagi perlu ditegaskan: penggunaan
dimana, kalau tak hati-hati, bisa tak tepat dan boros. Saya ambilkan 3 contoh
ekses penggunaan dimana dari 3 koran:
''Penyakit itu dianggap
berasal (dan disebarkan) oleh serdadu-serdadu Amerika (GI) dimana konsentrasi
besar mereka ada di Vietnam''.
''Pihak Kejaksaan Tinggi
Sulut di Menado dewasa ini sedang menggarap 9 buah perkara tindak pidana
korupsi/dimana ke-9 buah perkara tsb/ sebagian sudah dalam tahap penuntutan/selainnya
masih dalam pengusutan.''
''Pihak Kejaksaan Tinggi
Sulut di Menado belakangan menggarap perkara tindak pidana korupsi. Ke-9
perkara itu, sebagian sudah dalam tahap penuntutan. Sisanya masih dalam
pengusutan''
Dalam ketiga contoh
kecerobohan pemakaian dimana itu tampak: kata tersebut tak menerangkan tempat,
melainkan hanya berfungsi sebagai penyambung satu kalimat dengan kalimat lain.
Sebetulnya masing-masing bisa dirumuskan dengan lebih hemat:
- ''Penyakit itu
dianggap berasal (dan disebarkan) serdadu-serdadu Amerika (GI), yang
konsentrasi besarnya ada di Vietnam''.
- ''Selanjuntya
dinyatakan bahwa keadaan ekonomi dan moneter dewasa ini masih belum menentu.
Hal ini secara tidak langsung telah dapat..... dst''.
Perhatikan:
1. Kalimat itu dijadikan
dua, selain bisa menghilangkan dimana, juga menghasilkan kalimat-kalimat
pendek.
2. ''dewasa ini sedang''
cukup jelas dengan ''dewasa ini''.
3. kata ''9 buah'' bisa
dihilangkan ''buah''-nya sebab kecuali dalam konteks tertentu, kata
penunjuk-jenis (dua butir telor, 5 ekor kambing, 7 sisir pisang) kadang-kadang
bisa ditiadakan dalam bahasa Indonesia mutahir.
4. Kalimat dijadikan dua.
Kalimat kedua ditambahi Hal ini atau cukup Ini diawalnya.
2l) Dalam beberapa
kasus, kata yang berfungsi menyambung satu kalimat dengan kalimat lain
sesudahnya juga bisa ditiadakan, asal hubungan antara kedua kalimat itu secara
implisit cukup jelas (logis) untuk menjamin kontinyuitas. Misalnya:
Gubernur Jawa Tengah Bibit Widodo
“Gubernur….”
Bibit saat ini menjabat gubernur
- ''Bukan kebetulan jika
Gubernur menganggap proyek itu bermanfaat bagi daerahnya. Lima tahun mendatang,
proyek itu bisa menampung 2500 tenaga kerja setengah terdidik''. (Kata sebab
diawal kalimat kedua bisa ditiadakan: hubungan kausal antara kedua kalimat
secara implisit sudah jelas).
- ''Pelatih PSSI Witarsa
mengakui kekurangan-kekurangan di bidang logistik anak-anak asuhnya. Kemudian
ia juga menguraikan perlunya perbaikan gizi pemain'' (Kata kemudian diawal
kalimat kedua bisa ditiadakan; hubungan kronologis antara kedua kalimat secara
implisit cukup jelas).
Tak perlu diuraikan
lebih lanjut, bahwa dalam hal hubungan kausal dan kronologi saja kata yang
berfungsi menyambung dua kalimat yang berurutan bisa ditiadakan. Kata tapi,
walau atau meski yang mengesankan ada yang yang mengesankan adanya perlawanan
tak bisa ditiadakan.
JELAS
Setelah dikemukakan 16
pasal yang merupakan pedoman dasar penghematan dalam menulis, di bawah ini
pedoman dasar kejelasan dalam menulis. Menulis secara jelas membutuhkan dua
prasyarat:
1. Si penulis harus
memahami betul soal yang mau ditulisnya, bukan juga pura-pura paham atau belum
yakin benar akan pengetahuannya sendiri.
2. Si penulis harus
punya kesadaran tentang pembaca.
1. Memahami betul
soal-soal yang mau ditulisnya berarti juga bisa menguasai bahan penulisan dalam
suatu sistematik.
2. Ada orang yang
sebetulnya kurang bahan (baik hasil pengamatan, wawancara, hasil bacaan, buah
pemikiran) hingga tulisannya cuma mengambang.
3. Ada orang yang
terlalu banyak bahan, hingga tak bisa membatasi dirinya: menulis terlalu
panjang. Terutama dalam penulisan jurnalistik, tulisan kedua macam orang itu
tak bisa dipakai.
4. Sebab penulisan
jurnalistik harus disertai informasi faktuil atau detail pengalaman dalam
mengamati, berwawancara dan membaca sumber yang akurat. Juga harus dituangkan
dalam waktu dan ruangan yang tersedia. Lebih penting lagi ialah kesadaran
tentang pembaca.
Sebelum kita menulis,
kita harus punya bayangan (sedikit-sedikitnya perkiraan) tentang pembaca kita:
- Sampai berapa tinggi tingkat informasinya? Bisakah tulisan saya ini mereka pahami? Satu hal yang penting sekali diingat : tulisan kita tak hanya akan dibaca seorang atau sekelompok pembaca tertentu saja, melainkan oleh suatu publik yang cukup bervariasi dalam tingkat informasi.
- Pembaca harian atau majalah kita sebagian besar mungkin mahasiswa, tapi belum tentu semua tahu sebagian besar mereka tahu apa dan siapanya W. S. Renda atau B. M. Diah.
Menghadapi soal ini, pegangan penting buat penulis jurnalistik yang jelas
ialah: buatlah tulisan yang tidak membingungkan orang yang yang belum tahu,
tapi tak membosankan orang yang sudah tahu. Ini bisa dicapai dengan praktek
yang sungguh-sungguh dan terus-menerus.
Sebuah tulisan yang
jelas juga harus memperhitungkan syarat-syarat teknis komposisi:
a. tanda baca yang
tertib.
b. ejaan yang tidak
terlampau menyimpang dari yang lazim dipergunakan atau ejaan standard.
c. pembagian tulisan
secara sistematik dalam alinea-alinea. Karena bukan tempatnya di sini untuk
berbicara mengenai komposisi, cukup kiranya ditekankan perlunya disiplin
berpikir dan menuangkan pikiran dalam menulis, hingga sistematika tidak kalang-kabut,
kalimat-kalimat tidak melayang kesana-kemari, bumbu-bumbu cerita tidak
berhamburan menyimpang dari hal-hal yang perlu dan relevan.
Menuju kejelasan bahasa,
ada dua lapisan yang perlu mendapatkan perhatian:
1. unsur kata.
2. unsur kalimat.
1a. Berhemat dengan
kata-kata asing. Dewasa ini begitu derasnya arus istilah-istilah asing dalam
pers kita. Misalnya:
income per capita, Meet the Press, steam-bath, midnight show, project officer,
two China policy, floating mass, program-oriented, floor-price, City Hall,
upgrading, the best photo of the year, reshuffle, approach, single, seeded dan
apa lagi.
Kata-kata itu sebenarnya
bisa diterjemahkan, tapi dibiarkan begitu saja. Sementara diketahui bahwa
tingkat pelajaran bahasa Inggris sedang merosot, bisa diperhitungkan sebentar
lagi pembaca koran Indonesia akan terasing dari informasi, mengingat timbulnya
jarak bahasa yang kian melebar. Apalagi jika diingat rakyat kebanyakan memahami
bahasa Inggris sepatah pun tidak.
Sebelum terlambat,
ikhtiar menterjemahkan kata-kata asing yang relatif mudah diterjemahkan harus
segera dimulai. Tapi sementara itu diakui: perkembangan bahasa tak berdiri
sendiri, melainkan ditopang perkembangan sektor kebudayaan lain. Maka sulitlah kita mencari terjemahan
lunar module, feasibility study, after-shave lotion, drive-in, pant-suit,
technical know-how, backhand drive, smash, slow motion, enterpeneur, boom,
longplay, crash program, buffet dinner, double-breast, dll., karena
pengertian-pengertian itu tak berasal dari perbendaharaan kultural kita. Walau begitu, ikhtiar mencari salinan Indonesia yang tepat dan enak
(misalnya bell-bottom dengan
''cutbrai'') tetap perlu.
1b. Menghindari sejauh
mungkin akronim. Setiap bahasa mempunyai akronim, tapi agaknya sejak 15 tahun
terakhir, pers berbahasa Indonesia bertambah-tambah gemar mempergunakan
akronim, hingga sampai hal-hal yang kurang perlu. Akronim mempunyai manfaat:
menyingkat ucapan dan penulisan dengan cara yang mudah diingat.
Dalam bahasa Indonesia,
yang kata-katanya jarang bersukukata tunggal dan yang rata-rata dituliskan
dengan banyak huruf, kecenderungan membentuk akronim memang lumrah. ''Hankam'',
''Bappenas'', ''Humas'' memang lebih ringkas dari ''Pertahanan & Keamanan''
''Badan Perencanaan Pembangunan Nasional'', dan ''Hubungan Masyarakat''.
Tapi kiranya akan
teramat membingungkan kalau kita seenaknya saja membikin akronim sendiri dan
terlalu sering. Di samping itu, perlu diingat: ada yang membuat akronim untuk
alasan praktis dalam dinas (misalnya yang dilakukan kalangan ketentaraan), ada
yang membuat akronim untuk bergurau, mengejek dan mencoba lucu (misalnya di
kalangan remaja sehari-hari: ''ortu'' untuk ''orangtua''; atau di pojok koran:
''keruk nasi'' untuk ''kerukunan nasional'') tapi ada pula yang membuat akronim
untuk menciptakan efek propaganda dalam permusuhan politik (misalnya
''Manikebu'' untuk ''Manifes Kebudayaan'', ''Nekolim'' untuk
''neo-kolonialisme''. ''Cinkom'' untuk ''Cina Komunis'', ''ASU'' untuk ''Ali
Surachman''). Bahasa jurnalistik, dari sikap objektif, seharusnya menghindarkan
akronim jenis terakhir itu. Juga akronim bahasa pojok sebaiknya dihindarkan
dari bahasa pemberitaan, misalnya ''Djagung'' untuk ''Djaksa Agung'',
''Gepeng'' untuk ''Gerakan Penghematan'', ''sas-sus'' untuk ''desas-desus''.
Saya tak bermaksud
memberikan batas yang tegas akronim mana saja yang bisa dipakai dalam bahasa
pemberitaan atau tulisan dan mana yang tidak. Saya hanya ingin mengingatkan:
akronim akhirnya bisa mengaburkan pengertian kata-kata yang diakronimkan,
hingga baik yang mempergunakan ataupun yang membaca dan yang mendengarnya bisa
terlupa akan isi semula suatu akronim.
Misalnya akronim
''Gepeng'' jika terus-menerus dipakai bisa menyebabkan kita lupa makna
''gerakan'' dan ''penghematan'', ”gelandang” dan ”pengemis”, yang terkandung
dalam maksud semula. Kita makin lama makin alpa buat apa merenungkan kembali
makna semula sebelum kata-kata itu diakronimkan. Sikap analitis dan kritis kita
bisa hilang terhadap kata berbentuk akronim itu, dan itulah sebabnya akronim
sering dihubungkan dengan bahasa pemerintahan totaliter dan sangat penting
dalam bahasa Indonesia.
Tapi seperti halnya
dalam asas penghematan, asas kejelasan juga lebih efektif jika dilakukan dalam
struktur kalimat. Satu-satunya untuk itu ialah dihindarkannya kalimat-kalimat
majemuk yang paling panjang anak kalimatnya; terlebih-lebih lagi, jika kalimat
majemuk itu kemudian bercucu kalimat.
Pada dasarnya setiap
kalimat yang amat panjang, lebih dari 15-20 kata, bisa mengaburkan hal yang
lebih pokok, apalagi dalam bahasa jurnalistik. Itulah sebabnya penulisan lead
(awal) berita sebaiknya dibatasi hingga 13 kata. Bila lebih panjang dari itu,
pembaca bisa kehilangan jejak persoalan. Apalagi bila dalam satu kalimat
terlalu banyak data yang dijejalkan.
Contoh:
''Sehubungan dengan
berita 'Harian X' tanggal 25 November 2011 hari Kamis berjudul: 'Tanah Kompleks
IAIN Ciputat dijadikan Objek Manipulasi' (berdasarkan keterangan pers dari
Hamdi Ajusa, Ketua Dewan Mahasiswa IAIN Djakarta) maka pada tanggal 28 November
jbl. di Kampus IAIN tersebut telah diadakan pertemuan antara pihak Staf JPMII
(Jajasan Pembangunan Madrasah Islam & Ihsan - Perwakilan Ciputat) dengan
Hamdi Ajusa mewakili DM IAIN dengan maksud untuk mengadakan 'clearing' terhadap
berita itu.''
Perhatikan: Kalimat itu
terdiri dari 60 kata lebih. Sebagai pembaca, saya memerlukan dua kali
membacanya untuk memahami yang ingin dinyatakan sang wartawan. Pada pembacaan
pertama, saya kehilangan jejak perkara yang disajikan di hadapan saya. Ini
artinya suatu komunikasi cepat tak tercapai. Lebih ruwet lagi soalnya jika
bukan saja pembaca yang kehilangan jejak dengan dipergunakannya kalimat-kalimat
panjang, tapi juga si penulis sendiri.
''Selama tour tersebut
sambutan masyarakat setempat di mana mereka mengadakan pertunjukan mendapat
sambutan hangat.''
Perhatikan: Penulis
kehilangan subjek semula kalimatnya sendiri, yakni sambutan masyarakat
setempat. Akibatnya kalimat itu berarti, ''yang mendapat sambutan hangat ialah
sambutan masyarakat setempat.''
''Di kampung-kampung
kelihatan orang-orang lebih bersemarak lebaran, ketupat beserta sayur dan
sedikit daging semur, opor ayam ikut berlebaran. Dari rumah yang satu ke rumah
yang lain, ketupat-ketupat tersebut saling mengunjungi dan di langgar-langgar,
surau-surau ramai pula ketupat-ketupat, daging semur, opor ayam disantap
bersama oleh mereka.''
Perhatikan: Siapa yang
dimaksud dengan kata ganti mereka dalam kalimat itu? Si penulis nampaknya lupa
bahwa ia sebelumnya tak pernah menyebut ''orang-orang kampung''. Mengingat
dekat sebelum itu ada kalimat ketupat-ketupat tersebut saling mengunjungi dan
kalimat surau-surau ramai pula ketupat-ketupat, kalimat panjang itu bisa
berarti aneh dan lucu: ''daging semur, opor ayam disantap bersama oleh
ketupat-ketupat.
Langganan:
Postingan (Atom)