Disarikan dari Goenawan
Mohamad
Di bawah ini diutarakan
beberapa fasal, yang diharapkan bisa diterima para (calon) wartawan dalam usaha
kita ke arah efisien penulisan.
HEMAT
Penghematan diarahkan ke
penghematan ruangan dan waktu. Ini bisa dilakukan di dua lapisan:
(1) unsur kata
(2) unsur kalimat
Penghematan Unsur Kata
1.a) Beberapa kata
Indonesia sebenarnya bisa dihemat tanpa mengorbankan tatabahasa dan jelasnya
arti. Misalnya:
agar supaya
................. agar, supaya
warga
masyarakat..........warga, masyarakat
akan tetapi
................. tetapi, tapi
apabila
................. bila
sehingga
................. hingga
meskipun
................. meski
walaupun
................. walau
tidak .................
tak (kecuali diujung kalimat atau berdiri sendiri).
1b) Kata daripada atau dari pada juga sering bisa disingkat jadi dari.
Misalnya:
''Keadaan lebih baik
dari pada zaman sebelum perang'', menjadi ''Keadaan lebih baik sebelum
perang''. Tapi mungkin masih janggal mengatakan: ''Dari hidup berputih mata,
lebih baik mati berputih tulang''.
1c) Ejaan yang
salahkaprah justru bisa diperbaiki dengan menghemat huruf. Misalnya:
sjah ......... sah
akhli ......... ahli
tammat ......... tamat
progressive .........
progresif
effektif .........
efektif
tahta.....takhta
Ejaan merupakan unsur
dasar bahasa tertulis. Sebagai dasar, ia pegang peranan penting dalam
pertumbuhan bahasa, misalnya buat penciptaan kata baru, pemungutan kata dari
bahasa lain dan sebagainya.
1d) Beberapa kata mempunyai
sinonim yang lebih pendek. Misalnya:
kemudian = lalu
makin = kian
terkedjut = kaget
sangat = amat
demikian = begitu
sekarang = kini
Catatan: Dua kata yang
bersamaan arti belum tentu bersamaan efek, sebab bahasa bukan hanya soal
perasaan. Dalam soal memilih sinonim yang telah pendek memang perlu ada
kelonggaran, dengan mempertimbangkan rasa bahasa.
Penghematan Unsur
Kalimat
Lebih efektif dari
penghematan kata ialah penghematan melalui struktur kalimat. Banyak contoh
pembikinan kalimat dengan pemborosan kata.
2a) Pemakaian kata yang
sebenarnya tak perlu, di awal kalimat:
- ''Adalah merupakan
kenyataan, bahwa percaturan politik internasional berubah-ubah setiap zaman''.
(Bisa disingkat:
''Merupakan kenyataan, bahwa ................'').
- ''Apa yang dinyatakan
Wijoyo Nitisastro sudah jelas''.
(Bisa disingkat: ''Yang
dinyatakan Wijoyo Nitisastro...........'').
2b) Pemakaian apakah
atau apa (mungkin pengaruh bahasa daerah) yang sebenarnya bisa ditiadakan:
- ''Apakah Indonesia
akan terus tergantung pada bantuan luar negeri''?
(Bisa disingkat: ''Akan
terus tergantungkah Indonesia.....'').
- Baik kita lihat,
apa(kah) dia di rumah atau tidak''.
(Bisa disingkat: ''Baik
kita lihat, dia di rumah atau tidak'').
2c) Pemakaian dari
sebagai terjemahan of (Inggris) dalam hubungan milik yang sebenarnya bisa
ditiadakan; Juga daripada.
- ''Dalam hal ini
pengertian dari Pemerintah diperlukan''.
(Bisa disingkat: ''Dalam
hal ini pengertian Pemerintah diperlukan''.
- ''Sintaksis adalah
bagian daripada Tatabahasa''.
(Bisa disingkat:
''Sintaksis adalah bagian Tatabahasa'').
2d) Pemakaian untuk
sebagai terjemahan to (Inggris) yang sebenarnya bisa ditiadakan:
- ''Uni Soviet cenderung
untuk mengakui hak-hak India''.
(Bisa disingkat: ''Uni
Soviet cenderung mengakui............'').
- ''Pendirian semacam
itu mudah untuk dipahami''.
(Bisa disingkat:
''Pendirian semacam itu mudah dipahami'').
- ''GINSI dan Pemerintah
bersetuju untuk memperbaruhi prosedur barang-barang modal''.
(Bisa disingkat: ''GINSI
dan Pemerintah bersetuju memperbaruhi.......'').
Catatan: Dalam kalimat:
''Mereka setuju untuk tidak setuju'', kata untuk demi kejelasan dipertahankan.
2e) Pemakaian adalah
sebagai terjemahan is atau are (Inggris) tak selamanya perlu:
- ''Kera adalah binatang
pemamah biak''.
(Bisa disingkat ''Kera
binatang pemamah biak'').
Catatan: Dalam struktur
kalimat lama, adalah ditiadakan, tapi kata itu ditambahkan, misalnya dalam
kalimat: ''Pikir itu pelita hati''. Kita bisa memakainya, meski lebih baik
dihindari. Misalnya kalau kita harus menterjemahkan ''Man is a better driver
than woman'', bisa mengacaukan bila disalin: ''Pria itu pengemudi yang lebih
baik dari wanita''.
2f) Pembubuhan akan,
telah, sedang sebagai penunjuk waktu sebenarnya bisa dihapuskan, kalau ada
keterangan waktu:
''Presiden besok akan meninjau
pabrik ban Good year''
(Bisa disingkat:
''Presiden besok meninjau pabrik.........'').
- ''Tadi telah dikatakan
........''
(Bisa disingkat: ''Tadi
dikatakan.'').
- ''Kini Clay sedang
sibuk mempersiapkan diri''.
(Bisa disingkat: ''Kini
Clay mempersiapkan diri'').
2g) Pembubuhan bahwa
sering bisa ditiadakan:
- ''Pd. Gubernur Ali
Sadikin membantah desas-desus yang mengatakan bahwa ia akan diganti''.
- ''Tidak diragukan lagi
dia bahwa ialah orangnya yang tepat''. (Bisa disingkat: ''Tak diragukan lagi, dia
lah orang yang tepat''.).
Catatan: Sebagai ganti
bahwa ditaruhkan koma, atau pembuka (:), bila perlu.
2h) Yang, sebagai
penghubung kata benda dengan kata sifat, kadang-kadang juga bisa ditiadakan
dalam konteks kalimat tertentu:
- ''Indonesia harus
menjadi tetangga yang baik dari Australia''.
(Bisa disingkat:
''Indonesia harus menjadi tetangga baik Australia'').
- ''Kami pewaris sah Yayasan
Indonusa, pendiri Politeknik Indonusa.
2i) Pembentukan kata
benda (ke + ..... + an atau pe + ........ + an) yang berasal dari kata kerja
atau kata sifat, kadang, kadang, meski tak selamanya, menambah beban kalimat
dengan kata yang sebenarnya tak perlu:
- ''Tanggul kali
Citanduy kemarin mengalami ke+bobol+an''.
(Bisa dirumuskan:
''Tanggul kali Citanduy kemarin bobol'').
- ''PN Sandang menderita
kerugian Rp 3 juta''.
(Bisa dirumuskan: ''PN
Sandang rugi Rp 3 juta'', merugi Rp 3 juta).
Pedoman penulisan
1. Kurang dari 10
ditulis angka atau huruf: ”10 orang tewas”
Lebih dari 10 wajib
ditulis angka.
Satu, Dua : kesatu,
kedua, ke-dua, ke-tiga, ke-2, ke-3
HUT ke-10 Kemerdekaan RI
HUT ke-200 ke-dua ratus
2. Bertingkat, kumpulan,
wajib angka
Di kelas ini ada 2 pria,
7 wanita, dengan jumlah total 9 orang.
Dari peserta ekstra
kulikuler tersebut, ada 9 orang wanita, 10 waria, 3 bule, dan 1 pria, 20 orang
tua, 11 anak-anak.
Kalau penulisan lebih
dari empat kumpulan angka berturut-turut, lebih baik dibuat tabel.
Dari peserta ekstra
kulikuler tersebut, terbanyak waria ada 9 orang, dan paling sedikit pria, ada 1
orang (perincian lihat tabel)
Dari peserta ekstra
kulikuler tersebut, ada 9 orang wanita, waria (10), bule (3), dan pria (1),
orang tua (20), anak-anak (11).
Awal kalimat, angka
ditulis dengan huruf.
- ''Ia telah tiga kali
melakukan penipuan terhadap saya''
(Bisa disingkat: ''Ia
telah tiga kali menipu saya'').
- Ditandaskannya sekali
lagi bahwa DPP kini sedang memikirkan langkah-langkah untuk mengadakan
peremajaan dalam tubuh partai''.
(Bisa dirumuskan:
''Ditandaskannya sekali lagi, DPP sedang memikirkan langkah-langkah meremajakan
tubuh partai'').
2j) Penggunaan kata
sebagai dalam konteks ''dikutip sebagai mengatakan'' yang belakangan ini sering
muncul (terjemahan dan pengaruh bahasa jurnalistik Inggris & Amerika),
masih meragukan nilainya buat bahasa jurnalistik Indonesia.
Memang, dalam kalimat
yang memakai rangkaian kata-kata itu (bahasa Inggrisnya ''quoted as saying'')
tersimpul sikap berhati-hati memelihat kepastian berita.
Kalimat ''Dirjen
Pariwisata dikutip sebagai mengatakan......'' tak menunjukkan Dirjen Pariwisata
secara pasti mengatakan hal yang dimaksud; di situ si reporter memberi kesan ia
mengutipnya bukan dari tangan pertama, sang Dirjen Pariwisata sendiri. Tapi
perlu diperhitungkan mungkin kata sebagai bisa dihilangkan saja, hingga
kalimatnya cukup berbunyi: ''Dirjen Pariwisata dikutip mengatakan...........''.
Bukankah masih terasa
kesan bahwa si reporter tak mengutipnya dari tangan pertama?
Lagipula, seperti sering
terjadi dalam setiap mode baru, pemakaian sebagai biasa menimbulkan ekses.
Contoh: Ali Sadikin
menjelaskan tentang pelaksanaan membangun proyek miniatur Indonesia itu sebagai
berkata: ''Itu akan dilakukan dalam tiga tahap'' 1). Kata sebagai dalam berita
itu samasekali tak tepat, selain boros.
2k) Penggunaan dimana,
kalau tak hati-hati, juga bisa tak tepat dan boros. Dimana sebagai kataganti
penanya yang berfungsi sebagai kataganti relatif muncul dalam bahasa Indonesia
akibat pengaruh bahasa Barat.
1) Dr. C. A. Mees, dalam
Tatabahasa Indonesia (G. Kolff & Co., Bandung, 1953 hal. 290-294) menolak
pemakaian dimana. Ia juga menolak pemakaian pada siapa, dengan siapa, untuk
diganti dengan susunan kalimat Indonesia yang ''tidak meniru jalan bahasa
Belanda'', dengan mempergunakan kata tempat, kawan atau teman. Misalnya: ''orang
tempat dia berutang'' (bukan: pada siapa ia berutang); ''orang kawannya
berjanji tadi'' (bukan: orang dengan siapa ia berjanji tadi).
Bagaimana kemungkinannya
untuk bahasa jurnalistik?
Misalnya: ''Rumah dimana
saya diam'', yang berasal dari ''The house where I live in'', dalam bahasa
Indonesia semula sebenarnya cukup berbunyi: ''Rumah yang saya diami''. Misal
lain: ''Negeri dimana ia dibesarkan'', dalam bahasa Indonesia semula berbunyi:
''Negeri tempat ia dibesarkan''.
Dari kedua misal itu
terasa bahasa Indonesia semula lebih luwes, kurang kaku. Meski begitu tak
berarti kita harus mencampakkan kata dimana sama sekali dari pembentukan
kalimat bahasa Indonesia. Hanya sekali lagi perlu ditegaskan: penggunaan
dimana, kalau tak hati-hati, bisa tak tepat dan boros. Saya ambilkan 3 contoh
ekses penggunaan dimana dari 3 koran:
''Penyakit itu dianggap
berasal (dan disebarkan) oleh serdadu-serdadu Amerika (GI) dimana konsentrasi
besar mereka ada di Vietnam''.
''Pihak Kejaksaan Tinggi
Sulut di Menado dewasa ini sedang menggarap 9 buah perkara tindak pidana
korupsi/dimana ke-9 buah perkara tsb/ sebagian sudah dalam tahap penuntutan/selainnya
masih dalam pengusutan.''
''Pihak Kejaksaan Tinggi
Sulut di Menado belakangan menggarap perkara tindak pidana korupsi. Ke-9
perkara itu, sebagian sudah dalam tahap penuntutan. Sisanya masih dalam
pengusutan''
Dalam ketiga contoh
kecerobohan pemakaian dimana itu tampak: kata tersebut tak menerangkan tempat,
melainkan hanya berfungsi sebagai penyambung satu kalimat dengan kalimat lain.
Sebetulnya masing-masing bisa dirumuskan dengan lebih hemat:
- ''Penyakit itu
dianggap berasal (dan disebarkan) serdadu-serdadu Amerika (GI), yang
konsentrasi besarnya ada di Vietnam''.
- ''Selanjuntya
dinyatakan bahwa keadaan ekonomi dan moneter dewasa ini masih belum menentu.
Hal ini secara tidak langsung telah dapat..... dst''.
Perhatikan:
1. Kalimat itu dijadikan
dua, selain bisa menghilangkan dimana, juga menghasilkan kalimat-kalimat
pendek.
2. ''dewasa ini sedang''
cukup jelas dengan ''dewasa ini''.
3. kata ''9 buah'' bisa
dihilangkan ''buah''-nya sebab kecuali dalam konteks tertentu, kata
penunjuk-jenis (dua butir telor, 5 ekor kambing, 7 sisir pisang) kadang-kadang
bisa ditiadakan dalam bahasa Indonesia mutahir.
4. Kalimat dijadikan dua.
Kalimat kedua ditambahi Hal ini atau cukup Ini diawalnya.
2l) Dalam beberapa
kasus, kata yang berfungsi menyambung satu kalimat dengan kalimat lain
sesudahnya juga bisa ditiadakan, asal hubungan antara kedua kalimat itu secara
implisit cukup jelas (logis) untuk menjamin kontinyuitas. Misalnya:
Gubernur Jawa Tengah Bibit Widodo
“Gubernur….”
Bibit saat ini menjabat gubernur
- ''Bukan kebetulan jika
Gubernur menganggap proyek itu bermanfaat bagi daerahnya. Lima tahun mendatang,
proyek itu bisa menampung 2500 tenaga kerja setengah terdidik''. (Kata sebab
diawal kalimat kedua bisa ditiadakan: hubungan kausal antara kedua kalimat
secara implisit sudah jelas).
- ''Pelatih PSSI Witarsa
mengakui kekurangan-kekurangan di bidang logistik anak-anak asuhnya. Kemudian
ia juga menguraikan perlunya perbaikan gizi pemain'' (Kata kemudian diawal
kalimat kedua bisa ditiadakan; hubungan kronologis antara kedua kalimat secara
implisit cukup jelas).
Tak perlu diuraikan
lebih lanjut, bahwa dalam hal hubungan kausal dan kronologi saja kata yang
berfungsi menyambung dua kalimat yang berurutan bisa ditiadakan. Kata tapi,
walau atau meski yang mengesankan ada yang yang mengesankan adanya perlawanan
tak bisa ditiadakan.
JELAS
Setelah dikemukakan 16
pasal yang merupakan pedoman dasar penghematan dalam menulis, di bawah ini
pedoman dasar kejelasan dalam menulis. Menulis secara jelas membutuhkan dua
prasyarat:
1. Si penulis harus
memahami betul soal yang mau ditulisnya, bukan juga pura-pura paham atau belum
yakin benar akan pengetahuannya sendiri.
2. Si penulis harus
punya kesadaran tentang pembaca.
1. Memahami betul
soal-soal yang mau ditulisnya berarti juga bisa menguasai bahan penulisan dalam
suatu sistematik.
2. Ada orang yang
sebetulnya kurang bahan (baik hasil pengamatan, wawancara, hasil bacaan, buah
pemikiran) hingga tulisannya cuma mengambang.
3. Ada orang yang
terlalu banyak bahan, hingga tak bisa membatasi dirinya: menulis terlalu
panjang. Terutama dalam penulisan jurnalistik, tulisan kedua macam orang itu
tak bisa dipakai.
4. Sebab penulisan
jurnalistik harus disertai informasi faktuil atau detail pengalaman dalam
mengamati, berwawancara dan membaca sumber yang akurat. Juga harus dituangkan
dalam waktu dan ruangan yang tersedia. Lebih penting lagi ialah kesadaran
tentang pembaca.
Sebelum kita menulis,
kita harus punya bayangan (sedikit-sedikitnya perkiraan) tentang pembaca kita:
- Sampai berapa tinggi tingkat informasinya? Bisakah tulisan saya ini mereka pahami? Satu hal yang penting sekali diingat : tulisan kita tak hanya akan dibaca seorang atau sekelompok pembaca tertentu saja, melainkan oleh suatu publik yang cukup bervariasi dalam tingkat informasi.
- Pembaca harian atau majalah kita sebagian besar mungkin mahasiswa, tapi belum tentu semua tahu sebagian besar mereka tahu apa dan siapanya W. S. Renda atau B. M. Diah.
Menghadapi soal ini, pegangan penting buat penulis jurnalistik yang jelas
ialah: buatlah tulisan yang tidak membingungkan orang yang yang belum tahu,
tapi tak membosankan orang yang sudah tahu. Ini bisa dicapai dengan praktek
yang sungguh-sungguh dan terus-menerus.
Sebuah tulisan yang
jelas juga harus memperhitungkan syarat-syarat teknis komposisi:
a. tanda baca yang
tertib.
b. ejaan yang tidak
terlampau menyimpang dari yang lazim dipergunakan atau ejaan standard.
c. pembagian tulisan
secara sistematik dalam alinea-alinea. Karena bukan tempatnya di sini untuk
berbicara mengenai komposisi, cukup kiranya ditekankan perlunya disiplin
berpikir dan menuangkan pikiran dalam menulis, hingga sistematika tidak kalang-kabut,
kalimat-kalimat tidak melayang kesana-kemari, bumbu-bumbu cerita tidak
berhamburan menyimpang dari hal-hal yang perlu dan relevan.
Menuju kejelasan bahasa,
ada dua lapisan yang perlu mendapatkan perhatian:
1. unsur kata.
2. unsur kalimat.
1a. Berhemat dengan
kata-kata asing. Dewasa ini begitu derasnya arus istilah-istilah asing dalam
pers kita. Misalnya:
income per capita, Meet the Press, steam-bath, midnight show, project officer,
two China policy, floating mass, program-oriented, floor-price, City Hall,
upgrading, the best photo of the year, reshuffle, approach, single, seeded dan
apa lagi.
Kata-kata itu sebenarnya
bisa diterjemahkan, tapi dibiarkan begitu saja. Sementara diketahui bahwa
tingkat pelajaran bahasa Inggris sedang merosot, bisa diperhitungkan sebentar
lagi pembaca koran Indonesia akan terasing dari informasi, mengingat timbulnya
jarak bahasa yang kian melebar. Apalagi jika diingat rakyat kebanyakan memahami
bahasa Inggris sepatah pun tidak.
Sebelum terlambat,
ikhtiar menterjemahkan kata-kata asing yang relatif mudah diterjemahkan harus
segera dimulai. Tapi sementara itu diakui: perkembangan bahasa tak berdiri
sendiri, melainkan ditopang perkembangan sektor kebudayaan lain. Maka sulitlah kita mencari terjemahan
lunar module, feasibility study, after-shave lotion, drive-in, pant-suit,
technical know-how, backhand drive, smash, slow motion, enterpeneur, boom,
longplay, crash program, buffet dinner, double-breast, dll., karena
pengertian-pengertian itu tak berasal dari perbendaharaan kultural kita. Walau begitu, ikhtiar mencari salinan Indonesia yang tepat dan enak
(misalnya bell-bottom dengan
''cutbrai'') tetap perlu.
1b. Menghindari sejauh
mungkin akronim. Setiap bahasa mempunyai akronim, tapi agaknya sejak 15 tahun
terakhir, pers berbahasa Indonesia bertambah-tambah gemar mempergunakan
akronim, hingga sampai hal-hal yang kurang perlu. Akronim mempunyai manfaat:
menyingkat ucapan dan penulisan dengan cara yang mudah diingat.
Dalam bahasa Indonesia,
yang kata-katanya jarang bersukukata tunggal dan yang rata-rata dituliskan
dengan banyak huruf, kecenderungan membentuk akronim memang lumrah. ''Hankam'',
''Bappenas'', ''Humas'' memang lebih ringkas dari ''Pertahanan & Keamanan''
''Badan Perencanaan Pembangunan Nasional'', dan ''Hubungan Masyarakat''.
Tapi kiranya akan
teramat membingungkan kalau kita seenaknya saja membikin akronim sendiri dan
terlalu sering. Di samping itu, perlu diingat: ada yang membuat akronim untuk
alasan praktis dalam dinas (misalnya yang dilakukan kalangan ketentaraan), ada
yang membuat akronim untuk bergurau, mengejek dan mencoba lucu (misalnya di
kalangan remaja sehari-hari: ''ortu'' untuk ''orangtua''; atau di pojok koran:
''keruk nasi'' untuk ''kerukunan nasional'') tapi ada pula yang membuat akronim
untuk menciptakan efek propaganda dalam permusuhan politik (misalnya
''Manikebu'' untuk ''Manifes Kebudayaan'', ''Nekolim'' untuk
''neo-kolonialisme''. ''Cinkom'' untuk ''Cina Komunis'', ''ASU'' untuk ''Ali
Surachman''). Bahasa jurnalistik, dari sikap objektif, seharusnya menghindarkan
akronim jenis terakhir itu. Juga akronim bahasa pojok sebaiknya dihindarkan
dari bahasa pemberitaan, misalnya ''Djagung'' untuk ''Djaksa Agung'',
''Gepeng'' untuk ''Gerakan Penghematan'', ''sas-sus'' untuk ''desas-desus''.
Saya tak bermaksud
memberikan batas yang tegas akronim mana saja yang bisa dipakai dalam bahasa
pemberitaan atau tulisan dan mana yang tidak. Saya hanya ingin mengingatkan:
akronim akhirnya bisa mengaburkan pengertian kata-kata yang diakronimkan,
hingga baik yang mempergunakan ataupun yang membaca dan yang mendengarnya bisa
terlupa akan isi semula suatu akronim.
Misalnya akronim
''Gepeng'' jika terus-menerus dipakai bisa menyebabkan kita lupa makna
''gerakan'' dan ''penghematan'', ”gelandang” dan ”pengemis”, yang terkandung
dalam maksud semula. Kita makin lama makin alpa buat apa merenungkan kembali
makna semula sebelum kata-kata itu diakronimkan. Sikap analitis dan kritis kita
bisa hilang terhadap kata berbentuk akronim itu, dan itulah sebabnya akronim
sering dihubungkan dengan bahasa pemerintahan totaliter dan sangat penting
dalam bahasa Indonesia.
Tapi seperti halnya
dalam asas penghematan, asas kejelasan juga lebih efektif jika dilakukan dalam
struktur kalimat. Satu-satunya untuk itu ialah dihindarkannya kalimat-kalimat
majemuk yang paling panjang anak kalimatnya; terlebih-lebih lagi, jika kalimat
majemuk itu kemudian bercucu kalimat.
Pada dasarnya setiap
kalimat yang amat panjang, lebih dari 15-20 kata, bisa mengaburkan hal yang
lebih pokok, apalagi dalam bahasa jurnalistik. Itulah sebabnya penulisan lead
(awal) berita sebaiknya dibatasi hingga 13 kata. Bila lebih panjang dari itu,
pembaca bisa kehilangan jejak persoalan. Apalagi bila dalam satu kalimat
terlalu banyak data yang dijejalkan.
Contoh:
''Sehubungan dengan
berita 'Harian X' tanggal 25 November 2011 hari Kamis berjudul: 'Tanah Kompleks
IAIN Ciputat dijadikan Objek Manipulasi' (berdasarkan keterangan pers dari
Hamdi Ajusa, Ketua Dewan Mahasiswa IAIN Djakarta) maka pada tanggal 28 November
jbl. di Kampus IAIN tersebut telah diadakan pertemuan antara pihak Staf JPMII
(Jajasan Pembangunan Madrasah Islam & Ihsan - Perwakilan Ciputat) dengan
Hamdi Ajusa mewakili DM IAIN dengan maksud untuk mengadakan 'clearing' terhadap
berita itu.''
Perhatikan: Kalimat itu
terdiri dari 60 kata lebih. Sebagai pembaca, saya memerlukan dua kali
membacanya untuk memahami yang ingin dinyatakan sang wartawan. Pada pembacaan
pertama, saya kehilangan jejak perkara yang disajikan di hadapan saya. Ini
artinya suatu komunikasi cepat tak tercapai. Lebih ruwet lagi soalnya jika
bukan saja pembaca yang kehilangan jejak dengan dipergunakannya kalimat-kalimat
panjang, tapi juga si penulis sendiri.
''Selama tour tersebut
sambutan masyarakat setempat di mana mereka mengadakan pertunjukan mendapat
sambutan hangat.''
Perhatikan: Penulis
kehilangan subjek semula kalimatnya sendiri, yakni sambutan masyarakat
setempat. Akibatnya kalimat itu berarti, ''yang mendapat sambutan hangat ialah
sambutan masyarakat setempat.''
''Di kampung-kampung
kelihatan orang-orang lebih bersemarak lebaran, ketupat beserta sayur dan
sedikit daging semur, opor ayam ikut berlebaran. Dari rumah yang satu ke rumah
yang lain, ketupat-ketupat tersebut saling mengunjungi dan di langgar-langgar,
surau-surau ramai pula ketupat-ketupat, daging semur, opor ayam disantap
bersama oleh mereka.''
Perhatikan: Siapa yang
dimaksud dengan kata ganti mereka dalam kalimat itu? Si penulis nampaknya lupa
bahwa ia sebelumnya tak pernah menyebut ''orang-orang kampung''. Mengingat
dekat sebelum itu ada kalimat ketupat-ketupat tersebut saling mengunjungi dan
kalimat surau-surau ramai pula ketupat-ketupat, kalimat panjang itu bisa
berarti aneh dan lucu: ''daging semur, opor ayam disantap bersama oleh
ketupat-ketupat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar